2/25/2012

Konsep Wilayah dan Pertumbuhan

Konsep Wilayah dan Pusat Pertumbuhan
Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2006) wilayah
dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu
dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi
secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti
tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup
komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentukbentuk
kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar
manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan
unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey,
1977 dalam Rustiadi et al., 2006) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan
konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen
(uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah
perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan klasifikasi
tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2005) berdasarkan fase kemajuan
perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah menjadi : 1). fase pertama yaitu
wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal
adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti
keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik. 2). fase kedua yaitu wilayah
fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling
hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah
nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti
desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan. 3). fase ketiga yaitu wilayah
perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan
ekonomi.
Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit
geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah berasal dari bahasa Arab “wala-yuwali-wilayah” yang mengandung arti dasar “saling
tolong menolong, saling berdekatan baik secara geometris maupun similarity”.
Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir. Oleh karena itu, yang dimaksud
dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis
berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong
menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan
bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan
pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait
dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3)
keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan.
Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi
berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat
alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan
dalam kesatuan wilayah perencanaan.
Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan
untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah
bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut
Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan
pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan
keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek
sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya
telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang
menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan
kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan
dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan
pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development).
Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia
sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model
pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistim pemerintahan dan
administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa
memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri
(Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003). Pengembangan wilayah dengan
memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan
kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado, 2002).
Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan
Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip
dasar dalam pengembangan wilayah adalah :
1. Sebagai growth center
Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus
diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat
ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.
2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar
daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan
wilayah.
3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari
daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.
4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat
bagi perencanaan pengembangan kawasan.
Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan
diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi
sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat
sinergisme di antaranya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi,
2003)
Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan
Teori tempat pemusatan pertama kali dirumuskan oleh Christaller (1933) dan
dikenal sebagai teori pertumbuhan perkotaan yang pada dasarnya menyatakan
bahwa pertumbuhan kota tergantung spesialisasinya dalam fungsi pelayanan
perkotaan, sedangkan tingkat permintaan akan pelayanan perkotaan oleh daerah
sekitarnya akan menentukan kecepatan pertumbuhan kota (tempat pemusatan)
tersebut. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan timbulnya pusat-pusat pelayanan
: (1) faktor lokasi ekonomi, (2) faktor ketersediaan sumberdaya, (3) kekuatan
aglomerasi, dan (4) faktor investasi pemerintah.
Menurut Mercado (2002) konsep pusat pertumbuhan diperkenalkan pada
tahun 1949 oleh Fancois Perroux yang mendefinisikan pusat pertumbuhan sebagai
“pusat dari pancaran gaya sentrifugal dan tarikan gaya sentripetal”. Menurut
Rondinelli (1985) dan Unwin (1989) dalam Mercado (2002) bahwa teori pusat
pertumbuhan didasarkan pada keniscayaan bahwa pemerintah di negara
berkembang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di pusat kota.
Teori pusat pertumbuhan juga ditopang oleh kepercayaan bahwa kekuatan pasar
bebas melengkapi kondisi terjadinya trickle down effect (dampak penetesan ke
bawah) dan menciptakan spread effect (dampak penyebaran) pertumbuhan ekonomi
dari perkotaan ke pedesaan. Menurut Stohr (1981) dalam Mercado (2002), konsep
pusat pertumbuhan mengacu pada pandangan ekonomi neo-klasik. Pembangunan
dapat dimulai hanya dalam beberapa sektor yang dinamis, mampu memberikan
output rasio yang tinggi dan pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan dampak
yang luas (spread effect) dan dampak ganda (multiple effect) pada sektor lain dan
wilayah yang lebih luas. Sehingga pembangunan sinonim dengan urbanisasi
(pembangunan di wilayah perkotaan) dan industrialisasi (hanya pada sektor
industri). Pandangan ekonomi neo-klasik berprinsip bahwa kekuatan pasar akan
menjamin ekuilibrium (keseimbangan) dalam distribusi spasial ekonomi dan proses
trickle down effect atau centre down dengan sendirinya akan terjadi ketika
kesejahteraan di perkotaan tercapai dan dimulai dari level yang tinggi seperti
kawasan perkotaan ke kawasan yang lebih rendah seperti kawasan hinterland dan
perdesaan melalui beberapa mekanisme yaitu hirarki perkotaan dan perusahaanperusahaan
besar.
Namun demikian kegagalan teori pusat pertumbuhan karena trickle down
effect (dampak penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak penyebaran) tidak
terjadi yang diakibatkan karena aktivitas industri tidak mempunyai hubungan
dengan basis sumberdaya di wilayah hinterland. Selain itu respon pertumbuhan di
pusat tidak cukup menjangkau wilayah hinterland karena hanya untuk melengkapi
kepentingan hirarki kota (Mercado, 2002).
Pembangunan Berkelanjutan
Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Definisi konsep pembangunan berkelanjutan diinteprestasikan oleh beberapa
ahli secara berbeda-beda. Namun demikian pembangunan berkelanjutan
sebenarnya didasarkan kepada kenyataan bahwa kebutuhan manusia terus
meningkat. Kondisi yang demikian ini membutuhkan suatu strategi pemanfaatan
sumberdaya alam yang efesien. Disamping itu perhatian dari konsep pembangunan
yang berkelanjutan adalah adanya tanggungjawab moral untuk memberikan
kesejahteraan bagi generasi yang akan datang, sehingga permasalahan yang
dihadapi dalam pembangunan adalah bagaimana memperlakukan alam dengan
kapasitas yang terbatas namun akan tetap dapat mengalokasikan sumberdaya
secara adil sepanjang waktu dan antar generasi untuk menjamin kesejahteraannya.
Penyusutan yang terjadi akibat pemanfaatan masa kini hendaknya disertai
suatu bentuk usaha mengkompensasi yang dapat dilakukan dengan menggali
kemampuan untuk mensubstitusi semaksimal mungkin sumberdaya yang langka
dan terbatas tersebut sehingga pemanfaatan sumberdaya alam pada saat ini tidak
mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang
(intergenerational equity).
Definisi Pembangunan berkelanjutan menurut Bond et al. (2001)
pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan dari kesepakatan
multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang
dimana pembangunan ekonomi, sosial dan proteksi lingkungan saling memperkuat
dalam pembangunan. Bosshard (2000) mendefinisikan pembangunan
berkelanjutan sebagai pembangunan yang harus mempertimbangkan lima prinsip
kriteria yaitu: (1) abiotik lingkungan, (2) biotik lingkungan, (3) nilai-nilai budaya, (4)
sosiologi, dan (5) ekonomi. Marten (2001) mendefinisikan sebagai pemenuhan
kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kecukupan kebutuhan generasi
mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak berarti berlanjutnya pertumbuhan
ekonomi, karena tidak mungkin ekonomi tumbuh jika ia tergantung pada
keterbatasan kapasitas sumberdaya alam yang ada.
Selain itu ada pula beberapa pakar yang memberikan rumusan untuk lebih
menjelaskan makna dari pembangunan yang berkelanjutan, antara lain
(Abdurrahman, 2003) :
1. Emil Salim
Pembangunan berkelanjutan atau suistainable development adalah suatu proses
pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumberdaya alam, dan
sumberdaya manusia, dengan menyerasikan sumber alam dengan manusia
dalam pembangunan (Yayasan SPES, 1992 :3)
Ada beberapa asumsi dasar serta ide pokok yang mendasari konsep
pembangunan berlanjut ini, yaitu :
a. Proses pembangunan ini mesti berlangsung secara berlanjut, terus menerus
di topang oleh sumber alam, kualitas lingkungan dan manusia yang
berkembang secara berlanjut.
b. Sumber alam terutama udara, air, dan tanah memiliki ambang batas, diatas
mana penggunaannya akan menciutkan kualitas dan kuantitasnya.
Penciutan ini berarti berkurangnya kemampuan sumber alam tersebut untuk
menopang pembangunan secara berkelanjutan, sehingga menimbulkan
gangguan pada keserasian sumber alam dengan daya manusia.
c. Kualitas lingkungan berkorelasi langsung dengan kualitas hidup. Semakin
baik kualitas lingkungan, semakin positif pengaruhnya pada kualitas hidup,
yang antara lain tercermin pada meningkatnya kualitas fisik, pada harapan
hidup, pada turunnya tingkat kematian dan lain sebagainya.
d. Pembangunan berkelanjutan memungkinkan generasi sekarang untuk
meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi
generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
2. Ignas Kleden
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang disatu pihak mengacu
pada pemanfaatan sumber0sumber alam maupun sumberdaya manusia secara
optimal, dan dilain pihak serta pada saat yang sama memelihara keseimbangan
optimal di antara berbagai tuntutan yang saling bertentangan terhadap
sumberdaya tersebut ( yayasan SPES, 1992 : XV)
3. Sofyan Effendi
a. pembanguna berkelanjutan adalah pembangunan yang pemanfaatan
sumberdayanya, arah invesinya, orientasi pengembangan teknologinya dan
perubahan kelembagaanya dilakukan secara harmonis dan dengan amat
memperhatikan potensi pada saat ini dan masa depan dalam pemenuhan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat
b. Secara konseptual, pembangunan berkelanjutan sebagai transformasi
progresif terhadap struktur sosial, ekonomi dan politik untuk meningkatkan
kepastian masyarakat Indonesia dalam memenuhi kepentingannya pada saat
ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kepentingannya.
Konsep pembangunan yang berkesinambungan memang mengimplikasikan
batas, bukan batas absolut akan tetapi batas yang ditentukan oleh tingkat teknologi
dan organisasi sosial sekarang ini mengenai sumberdaya lingkungan serta oleh
kemampuan biosfer menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia, akan tetapi
teknologi untuk memberi jalan bagi era baru pertumbuhan ekonomi
Dalam definisi diatas dapat dipahami bahwa konsep pembangunan
berkelanjutan didirikan atau didukung oleh 3 pilar, yaitu: ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri,
tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Secara skematis,
keterkaitan antar 3 komponen dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut
(Munasinghe-Cruz, 1995).
Sumber : Askary (2003)
Gambar 2. Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Dimensi Pembangunan Berkelanjutan
Munasinghe (1994) menyatakan bahwa pendekatan ekonomi dalam
pembangunan yang berkelanjutan bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan
manusia melaluyi pertumbuhan ekonomi dan efesiensi penggunaan kapital dalam
keterbatasan dan kendala sumberdaya serta keterbatasan teknologi. Peningkatan
output pembangunan ekonomi dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian
ekologi dan sosial sepanjang waktu dan memberikan jaminan kepada kebutuhan
dasar manusia serta memberikan perlindungan kepada golongan. Usaha yang
dapat dilakukan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan adalah dengan
melakukan analisis biaya manfaat atau suatu proyek pembangunan. Perencanaan
pembangunan hendaknya dilakukan secara komprehensip dengan memperhatikan
tujuan-tujuan jangka panjang. Selain itu yang dapat dilakukan untuk mengurangi
eksploitasi sumberdaya secara berlebihan dan menutupi dampak yang mungkin
ditimbulkan dari eksploitasi sumberdaya tersbut adalah memberikan harga kepada
sumberdaya (pricing) dan biaya tambahan (charges).
Jadi sasaran ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan adalah
peningkatan ketersediaan dan kecukupan kebutuhan ekonomi, kelestarian aset yaitu
efesiensi dalam pembangunan sumberdaya dengan pengelolaan yang ramah
lingkungan dan tetap memperhitungkan keadilan bagi masyarakat baik saat ini
maupun generasi yang akan datang. Dalam hal ini pembangunan ekonomi tidak
hanya mengejar efesiensi dan pertumbuhan yang tinggi saja tanpa memperhatikan
aspek sosial dan lingkungan. Pandangan ekologis didasarkan kepada pertimbangan
bahwa perubahan lingkungan akan terjadi di waktu yang akan datang dan
dipengaruhi oleh segala aktifitas manusia.
Para ahli sosiologi memberikan pandangan yang berbeda dengan ahli
ekonomi dalam mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Dikemukakan
oleh Cernea (1994) bahwa pembangunan berkelanjutan adalah menekankan
kepada pemberdayaan organisasi sosial masyarakat. Penekanan pandangan para
sosiolog tersebut terletak kepada manusia sebagai kunci keberhasilan
pembangunan melalui pemberdayaan organisasi sosial kemasyarakatan yang
berkembang. Pemberdayaan organisasi sosial kemasyarakatan ditujukan untuk
pengelolaan sumberdaya alam dengan memberikan motivasi yang mengarah
kepada keberlanjutan. Pendekatan partisipatif masyarakat dalam pembangunan
dilakukan dengan menciptakan kesadaran masyarakat pada peningkatan
kemampuan sumberdaya manusia, penghargaan terhadap bentuk kelembagaan dan
organisasi sosial masyarakat sebagai satu sistim kontrol terhadap jalannya
pembangunan, pengembangan nilai-nilai masyarakat tradisional yang mengandung
keutamaan dan kearifan, meningkatkan kemandirian dan kemampuan masyarakat
dengan berorganisasi.
Dengan demikian faktor sosial dalam pembangunan yang berkelanjutan
merupakan salah satu faktor yang tidak kalah penting apabila dibandingkan dengan
faktor ekonomi dan ekologi. Bukti-bukti menjelaskan bahwa proyek pembangunan
yang kurang memperhatikan faktor sosial kemasyarakatan akan menjadi ancaman
bagi keberhasilan proyek atau program pembangunan yang dilaksanakan karena
tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitarnya.
Menurut Serageldin (1994) Tujuan pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan memiliki hubungan dengan tujuan lingkungan. Keberhasilan dan
keberlanjutan pembangunan tidak akan tercapai apabila tidak didukung oleh kondisi
lingkungan hidup yang mendukung pembangunan ekonomi dan sosial.
Pembangunan akan terhambat apabila kondisi sosial ekonomi masyarakat penuh
dengan ketidak pastian. Disamping itu pembangunan ekonomi tanpa
memperhatikan efesiensi penggunaan sumberdaya dan kelestarian alam akan
menyebabkan degradasi alam yang tidak dapat pulih kembali, sehingga usaha yang
dapat dilakukan adalah dengan efesiensi penggunaan sumberdaya alam dan juga
memberikan penilaian terhadap lingkungan dengan mengevaluasi dampak
lingkungan yang ditimbulkannya. Karena bagaimanapun proses pembangunan yang
berjalan sedikit ataupun banyak akan menimbulkan eksternalitas negatif dimana
masyarakat yang akan merasakan akibat dari kerusakan tersebut. Masyarakatlah
yang menanggung beban berupa biaya – biaya sosial yang harus ditanggung baik
oleh masyarakat saat ini maupun generasi yang akan datang.
Hal yang terpenting adalah bagaimana pemahaman mengenai
pembangunan dimulai dari pendekatan kepada berhasil atau tidaknya pembangunan
itu mengurangi kemiskinan. Bagaiman pertumbuhan ekonomi berperan dan
bagaimana proses pertumbuhan itu dipengaruhi oleh semakin berkurangnya
sumberdaya dan makin meningkatnya biaya lingkungan. Langkah selanjutnya yang
harus menjadi pertimbangan global adalah bagaimana menemukan cara yang efektif
sehingga pembangunan yang dilaksanakan dapat sekaligus memecahkan masalah
kemiskinan tanpa membahayakan lingkungan atau menurunkan kualitas
sumberdaya alam untuk generasi ayang akan datang.
Pembangunan Pertanian Perdesaan yang Berkelanjutan
(Sustainable Rural Development)
Dalam hubungan dengan konsep pembangunan daerah melalui pendekatan
agropolitan oleh Anwar (1999) disebutkan bahwa hubungan ketiga aspek dalam
pembangunan yang berkelanjutan tersebut diterjemahkan sebagai pembangunan
ekonomi perdesaan yang berkelanjutan. Pertumbuhan berupa peningkatan
kapasitas produksi daerah diakibatkan oleh aktifitas pertanian secara luas bukan
hanya peningkatan aktifitas pertanian budidaya saja. Jadi dalam hal ini aktifitas
pertanian yang mengolah bahan mentah yang dihasilkan dari pertanian budidaya
dan aktifitas pemasaran hasil menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam hal ini konsep pembangunan
ekonomi perdesaan yang berkelanjutan mempunyai kaitan erat dengan aktifitas
pembangunan wilayah dengan agroindustri dan agrobisnis yang akan dikembangkan
Selanjutnya pemerataan pembangunan dapat dicapai dengan menyertakan
masyarakat lokal baik secar individu maupun melalui organisasi sosial
kemasyarakatan dalam aktifitas perekonomian daerah dengan distribusi
pendapatan yang lebih adil.
Selanjutnya dikatakan bahwa sektor pertanian sejak tahap awal
pembangunan selalu menjadi sektor penting dalam perekonomian nasional
Indonesia. Hal tersebut didasarkan kepada pertimbangan bahwa selain dapat
meningkatkan sumbangan kepada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) juga
menjadi sumber pendapatan dan kesempatan kerja. Selain itu sektor pertanian juga
menjadi sektor input yang memasok input-input untuk sektor lain seperti untuk
keperluan agroindustri. Adanya peranan untuk menyediakan input bagi sektor lain,
menyebabkan nilai tambah sektor pertanian akan meningkat dan merupakan sumber
peningkatan devisa negara. Disamping itu selama krisis ekonomi yang terjadi di
Indonesia sektor tradisional ini ternyata dapat terus memberikan kontribusi dalam
pemenuhan kebutuhan masyarakat. Sebagai basis perekonomian masyarakat maka
pembangunan pada sektor pertanian di perdesaan juga dapat lebih menjamin
pemerataan pendapatan karena sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di
perdesaan dan menggantungkan hidupnya pada sektor tradisional ini.
Meskipun peranan relatif sektor pertanian telah menyusut akibat perubahan
struktural yang terjadi namun sektor pertanian masih tetap memainkan peranan
yang sangat penting terutama dalam peningkatan PDB dan penyerapan tenaga
kerja, sehingga pembangunan yang diorientasikan kepada sektor pertanian dan
wilayah perdesaan ini sekarang tetap menjadi hal penting karena apabila
pembangunan di sektor ini tidak berhasil terutama dalam jangka menengah dan
jangka panjang akan dapat berdampak negatif terhadap pembangunan nasional
secara keseluruhan berupa kesenjangan yang semakin melebar antar wilayah dan
antar kelompok kelompok masyarakat. Kondisi ini akan memperlemah fondasi
kehidupan sosial, ekonomi, politik dalam masyarakat. Adanya sifat-sifat
ketangguhan sektor pertanian ini menumbuhkan harapan bahwa sektor pertanian
akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi dan penggerak perekonomian yang
utama, dan harapan tersebut diperkuat dengan adanya komitmen pemerintah untuk
mengembangkan koperasi, perusahaan kecil dan menengah sebagai pelaku
ekonomi utama pembangunan nasional yang dapat mendorong kemajuan.
Nasoetion (1999) dalam Hastuti (2001) menyatakan bahwa relatif
tangguhnya sektor pertanian antara lain disebabkan karena (1) Indonesia
mempunyai keunggulan komparatif dalam ketersediaan sumberdaya alam yang
menjadi penyangga utama kegiatan sektor pertanian, (2) secara institusional sektor
pertanian yang relatif tradisional terlindung dari pengaruh eksternal yang merugikan
karena keterbatasan kaitan sektor tersebut dengan sektor manufaktur yang
berorientasi keluar, (3) sektor pertanian terdiri dari rumah tangga petani, perusahaan
kecil menengah sehingga memungkinkan terjadinya perdagangan internal, dan (4)
sumberdaya alam Indonesia sangat beragam diantara wilayah sehingga
memungkinkan terjadinya perdagangan antar wilayah yang ekstensif.
Wilayah perdesaan dengan berbagai kenyamanan dan daya tarik tersendiri
telah diperlakukan secara tidak adil dalam berbagai kebijakan pemerintah di masa
lalu. Pengurasan sumberdaya yang berlebihan tanpa adanya pembagian yang adil
terhadap manfaat dan hasil-hasil pembangunan, telah membuat ketimpangan
spasial dan ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Penyebab kondisi ini
diantaranya adalah masyarakat perdesaan tidak mempunyai posisi tawar yang kuat,
sehingga hak-hak kehidupan masyarakat yang lebih baik tidak diperolehnya.
Kemiskinan dan ketidak mampuan masyarakat perdesaan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dengan kehidupan mereka. Hal ini merupakan salah satu
kegagalan kebijakan pemerintah dimasa lalu karena seringkali kebijakan yang
ditempuh tidak sesuai dengan kondisi ekosistim wilayah, keinginan serta nilai-nilai
kehidupan yang dianut oleh masyarakat. Kebijakan pemerintah tersebut hanya
didasarkan kepada tujuan meningkatkan kapital dan kepentingan segolongan
tertentu saja yang merugikan golongan masyarakat yang lain, tidak memperhatikan
keberagaman wilayah yang ada serta tidak sesuai dengan kebutuhan daerah.
Seharusnya keberagaman potensi wilayah baik kondisi biofisik wilayah, kemampuan
sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk, dan akses ke pasar yang berbeda
menghendaki perlakuan ataupun kebijakan yang berbeda pula yang sesuai dengan
karakteristik yang dimilikinya. Kesalahan dalam pengaturan dan perancangan
program-program pembangunan menyebabkan kegagalan proses pembangunan itu
sendiri.
Keragaman wilayah perdesaan di Indonesia tergantung kepada tipologinya
yang bervariasi, yang oleh Anwar (1999) kebijakan pertanian dan perdesaan tidak
dapat dilakukan secara seragam untuk semua keadaan wilayah yang masingmasing
memiliki kekhasan dan sifat-sifat khusus yang berbeda satu dengan yang
lain, sehingga setiap kebijakan harus memperhatikan kondisi perkembangan dari
wilayah yang bersangkutan yang secara konseptual tergantung kepada akses pasar
dan biaya-biaya transaksi.
Namun selama ini kebijakan pembangunan yang dilaksanakan adalah bias
perkotaan dan akibatnya ketimpangan di berbagai bidang kehidupan antara desakota
terjadi. Kesenjangan spasial yang terjadi antar wilayah perkotaan yang
bercorak industri dan jasa dengan wilayah perdesaan yang di dominasi oleh sektor
pertanian agribisnis merupaka akibat kebijakan yang salah dari masa lalu. Untuk itu
diperlukan usaha-usaha untuk mengurangi ketimpangan spasial tersebut dengan
menyeimbangkan pembangunan desa-kota yang dilakukan secara terpadu.
Keseimbangan spasial tersebut dapat tercapai apabila dalam perencanaan
pembangunan perdesaan memperhatikan berbagai faktor yang terkait dan
pembangunan diarahkan untuk mencapai tujuan : (1) pemerataan, (2) pertumbuhan,
(3) keterkaitan, (4) keberimbangan, (5) kemandirian, dan (6) keberlanjutan.
Keterpaduan tujuan pembangunan tersebut dalam perencanaan dan proses
pembangunan akan meningkatkan produktifitas daerah dengan berpegang pada
prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai
keutamaan yang dianut masyarakat. Pembangunan desa bukanlah kegiatan pada
ruang kosong tetapi kegiatan yang dilakukan pada tempat dimana sejumlah
penduduk yang memiliki nilai-nilai tertentu menjadi obyek dan sekaligus sebagai
subyek pembangunan. Sehingga nilai-nilai keutamaan yang dianut masyarakat,
organisasi swadaya dan pengelolaan sumberdaya yang bersifat swadaya
hendaknya menjadi landasan penyelenggaraan pembangunan desa.
Agropolitan
Beberapa dekade yang lalu paradigma pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah lebih menitik beratkan pada pembangunan fisik tanpa diikuti
pembangunan ekonomi sosial dan lingkungannya yang dilakukan secara terpadu.
Hal ini menimbulkan masalah di dalam pengelolaannya, karena masyarakat belum
punya kemampuan untuk mengelola agar inverstasi yang sudah dilakukannya dapat
lestari / berfungsi. Investasi dalam skala besar yang dilaksanakan di daerah
perkotaan yang diharapkan memberikan efek penetesan terhadap wilayah di
sekitarnya juga tidak terjadi secara serta merta. Berdasarkan paradigma tersebut
diatas, maka pembangunan harus juga memberikan perhatiannya ke wilayah
perdesaan. Pendekatan pembangunan ke wilayah perdesaan harus dilakukan tidak
hanya kegiatan fisik saja, melainkan yang lebih penting sebagai entry point-nya
adalah kegiatan ekonomi berdasarkan pada potensi unggulan dimasing-masing
wilayah. Terkait dengan pendekatan ini maka melalui konsep pembangunan
agropolitan menjadi relevan untuk dilaksanakan di daerah perdesaan.
Pengembangan agropolitan, seperti redistribusi tanah, prasarana dan sarana
pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan sehingga
masyarakat petani tidak perlu pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan yang
berkaitan dengan produksi, pemasaran, sosial budaya dan kehidupan setiap hari
(Syahrani, 2001). Pembangunan infrastruktur pada kawasan agropolitan
memungkinkan penciptaan lapangan pekerjaan, kompetisi pemanfaatan lahan yang
dapat ditanami untuk kepentingan non-pertanian dapat dikurangi dan pendapatan
masyarakat perdesaan dapat ditingkatkan melalui kegiatan agro-industri (Dardak
dan Elistianto, 2005)
Menurut soenarno (2004) , infrastruktur termasuk spektrum pelayanan yang
luas seperti sistim transportasi . fasilitas umum mempunyai dimensi teknologi yang
kuat dan penting untuk mendukung kegiatan manusia. Dalam pembangunan
perdesaan yang berimbang tidak hanya membentuk suatu permukiman secara
individu tapi juga sangat penting untuk membangun sibiotik generator keterkaitan
desa-kota yaitu melalui pengembangan agropolitan (Prayitno, 2004).
Pengertian Agropolitan
Pendekatan pembangunan perdesaan ditujukan untuk mewujudkan
kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah itu
sendiri, dimana ketergantungannya dengan perekonomian kota harus bisa
diminimalkan. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada
umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan
mata pancaharian utama bagi sebagian besar masyarakat perdesaan. Dari
berbagai alternatif model pembangunan, pendekatan agropolitan dipandang sebagai
konsep yang dapat mengatasi permasalahan ketidakseimbangan perdesaanperkotaan
selama ini. Kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan
administratif pemerintah, tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan economic of
scale dan economic of scope.
Agropolitan terdiri dari kata “agro” = pertanian dan “politan” = kota, sehingga
agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota didaerah lahan
pertanian (departemen pertanian, 2002 dalam Pranoto , 2005). Hasan (2003)
mengemukakan bahwa kegiatan kota tani berbasis budidaya pertanian, konservasi
sumberdaya alam dan pengembangan potensi daerah dengan bingkai
pembangunan berwawasan lingkungan, yang merupakan suatu upaya untuk
menghindari kesalahan pembangunan masa lalu.
Menurut (Saefulhakim, 2004) “Agro” bermakna: “tanah yang dikelola” atau
“budidaya tanaman”, yang digunakan untuk menunjuk berbagai aktivitas berbasis
pertanian. Sedang “polis” bermakna “a Central Point or Principal”. Agro-polis
bermakna : lokasi pusat pelayanan sistim kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi
berbasis pertanian. Kawasan agropolitan adalah kawasan terpilih dari kawasan
agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih dimana pada kawasan tersebut
terdapat kota pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan (Badan
Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, 2003).
Dari uraian tersebut di atas agropolitan dapat diartikan :
1. Suatu model pembangunan mengandalkan desentralisasi, pembangunan
infrastruktur setara wilayah perkotaan, dengan kegiatan pengelolaan agribisnis
yang berkonsentrasi di wilayah perdesaan.
2. Pendekatan agropolitan dapat mengurangi dampak negatif pembangunan yang
telah dilaksanakan, yaitu terjadinya urbanisasi yang tak terkendali, polusi,
kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, pengurasan sumberdaya alam dan
pemiskinan desa.
3. Menekankan transformasi desa-desa dengan memperkenalkan unsur-unsur
urbanisme ke dalam lingkungan perdesaan yang spesifik.
Batas Kawasan Agropolitan
Pendekatan pembangunan perdesaan melalui konsep agropolitan
dikembangkan oleh Friedman dan Douglas (1975). Keduanya bahkan menekankan
pentingnya pendekatan agropolitan dalam pengembangkan perdesaan di kawasan
Asia dan Afrika. Pendekatan agropolitan menggambarkan bahwa pembangunan
perdesaan secara beriringan dapat dilakukan dengan pembangunan wilayah
perkotaan pada tingkat lokal. Dalam konteks pengembangan agropolitan terdapat
tiga issu utama yang perlu mendapat perhatian, yaitu: (1) akses terhadap lahan
pertanian dan penyediaan pengairan, (2). desentralisasi politik dan wewenang
administrasi dari tingkat pusat dan tingkat lokal, dan (3) perubahan paradigma atau
kebijakan pembangunan nasional untuk lebih mendukung diversifikasi produk
pertanian. Melihat kota-kota sebagai site utama untuk fungsi-fungsi politik dan
administrasi, pendekatan pengembangan agropolitan di banyak negara lebih cocok
dilakukan pada skala kabupaten (Douglass, 1998).
Menurut Friedman dan douglass (1975), tujuan pembangunan agropolitan
adalah menciptakan “cities in the field” dengan memasukkan beberapa unsur
penting dari gaya hidup kota ke dalam daerah perdesaan yang berpenduduk dengan
kepadatan tertentu. Agropolitan distric merupakan satuan yang tepat untuk
membuat suatu kebijaksanaan pembangunan ruang, melalui desentralisasi perencanaan dan pengambilan keputusan (decentralized). Agropolitan districts
dapat dikembangkan didaerah perdesaan dengan kepadatan penduduk tinggi atau
peri-urban untuk meningkatkan standart hidup , meningkatkan kesempatan bekerja
dan mengurangi tingkat migrasi ke kota (Friedman, 1996).
Friedman dan Douglass (1975) bahkan menekankan pentingnya pendekatan
agropolitan dalam pengembangan perdesaan di kawasan Asia dan Afrika.
Perdesaan (Rural Development) secara beriringan dapat dilakukan dengan
pembangunan wilayah perkotaan pada tingkat lokal. Dalam konteks pengembangan
agropolitan terdapat tiga isue utama yang perlu mendapat perhatian :
1. Akses terhadap lahan pertanian dan air
2. Desentralisasi politik dan wewenang administrasi dari tingkat pusat ke tingkat lokal
3. Perubahan paradigma pembangunan nasional untuk lebih mendukung
diversifikasi produk pertanian
Implikasi hal tersebut menyebabkan kota-desa berperan sebagai site utama
untuk fungsi politik dan administrasi, transformasi wewenang dari pusat ke daerah
(desentralisasi) dan demokratisasi, Sebagai bagian dari perubahan politik, hal
tersebut akan berdampak terhadap perencanaan pembangunan perdesaan
mengenai bagimana upaya-upaya melaksanakan pembangunan kapasitas lokal dan
partisipasi masyarakat dalam suatu program yang menumbuhkan manfaat mutual
bagi masyarakat perdesaan dan perkotaan.
Selanjutnya Mercado (2002) mengemukakan bahwa gambaran agropolitan
adalah sebagai berikut: (1) skala geografinya relatif kecil; (2) proses perencanaan
dan pengambilan keputusan berdasarkan partisipasi dan aksi koperatif pada tingkat
lokal; (3) diversifikasi tenaga lokal termasuk pertanian dan kegiatan non-pertanian;
(4) pemanfaatan teknologi dan sumberdaya lokal; (5) berfungsi sebagai urban-rural
industrial.
Dengan skala luasan kabupaten akan memungkinkan hal-hal sebagai berikut
: (1) akses lebih mudah bagi masyarakat untuk menjangkau kota, (2) cukup luas
untuk meningkatkan dan mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi dan
cukup luas dalam upaya mengembangkan diversifikasi produk dalam rangka
mengatasi keterbatasan pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi, dan (3)
pengetahuan lokal akan mudah dimanfaatkan dalam proses perencanaan jika
proses itu dekat dengan rumah tangga dan produsen perdesaan.
Pendekatan pembangunan perdesaan tersebut ditangani oleh berbagai
stakeholders secara terpadu sesuai dengan tanggung jawab masing-masing.
Pendekatan pembangunan harus dilakukan secara komprehensip dan terpadu untuk
meningkatkan produktifitas, meningkatkan kualitas hidup penduduk perdesaan dan
meningkatkan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat. Pendekatan
pembangunan tersebut disarankan agar dilaksanakan melalui enam elemen dasar,
yaitu: (1) pembangunan pertanian dengan padat karya (labour intensif), (2)
menciptakan lapangan kerja, (3) membangun industri kecil / industri rumah tangga
pada wilayah pertanian, (4) gotong royong masyarakat setempat dan partisipasi
dalam membuat keputusan, (5) mengembangkan hirarki pembangunan kota untuk
mendukung pembangunan perdesaan, dan (6) kelembagaan yang tepat untuk
koordinasi multisektor.
Menurut Rustiadi (2004) pembangunan agropolitan memerlukan terjadinya
re-organisasi pembangunan ekonomi wilayah perdesaan. Hal ini dapat dilakukan
melalui strategi peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan.
Strategi tersebut memerlukan beberapa dukungan kebijakan pemerintah agar
mampu meningkatkan kinerja ekonomi perdesaan, seperti antara lain redistribusi
aset, terutama yang menyangkut lahan dan kapital.
Penggunaan Model
Model dan manipulasinya melalui proses simulasi adalah alat yang sangat
bermanfaat dalam sistim analisis. Model dapat digunakan sebagai representasi
sebuah sistim yang sedang dikerjakan atau menganalisis sistim yang sudah
dilakukan. Dengan menggunakan model dapat dihasilkan desain atau keputusan
operasional dalam waktu yang singkat dan biaya yang murah (Blanchord dan
Fabrycky, 1981 dalam Pranoto, 2005). Menurut Kholil (2005) untuk dapat
menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan kesisteman, harus diawali
dengan berpikir sistemik (system thinking), sibematik (goal oriented), holistik dan
efektif.
Dari terminologi penelitian operasional, secara umum model didefinisikan
sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual.
Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta
kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Oleh karena itu suatu model adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang komplek dari pada realitas
itu sendiri (Eriyanto, 2003).
Menurut Muhamadi, dkk (2001) model adalah suatu bentuk yang dibuat
untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikelompokkan menjadi
model kuantitatif, kualitatif dan model ikonik. Model kualitatif adalah model yang
berbentuk gambar, diagram atau matrik. Model ikonik adalah model yang
mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan.
Menurut Meadows (1982) model adalah usaha memahami beberapa segi
dari dunia kita yang sangat beraneka ragam sifatnya, dengan cara memilih sekian
banyak pengamatan dan pengalaman masa lalu untuk memecahkan masalah yang
sedang dihadapi. Dari berbagai pendapat tersebut diatas, maka model secara
umum dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk peniruan dan penyederhanaan dari
suatu gejala proses atau benda dalam skala yang lebih kecil skalanya.

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan anda


Online form powered by 123ContactForm.com | Report abuse

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons