2/11/2014

HUMANISME TEOSENTRIS (Paradigma pendidikan Islam)



Oleh prof.Achmadi

Sejak awal abad 20 konsep humanisme merupakan konsep kemanusiaan yang paling berharga karena konsep ini sepenuhnya memihak pada manusia, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, hak asasi manusia, dan semua potensi manusia yang melebihi dari makhluk lain. Bagi masyarakat sekuler humanisme menafikan interfensi Tuhan dalam mangatur kehidupan karena manusia bisa mengatur dirinya sendiri. Karena begitu berharganya konsep ini, maka semua ideologi dan agama mengklaim sebagai pemilik konsep humanisme ini. Islam memiliki konsep humanisme yang secara eksplisit berbeda dengan humanisme-humansime yang lain. yaitu bahwa pandangan kemanusiaan (humanisme dalam Islam) tetap dalam bingkai konsep ketahidan, artinya pandangan dan perilaku kemanusiaan seorang muslim pada dasarnya merupakan ekspresi dan aktualisasi iman tauhid. Oleh karena itu humanisme teosentris merupakan nilai inti ( core of value ) dari seluruh ajaran Islam.

Teosentrisme dalam Islam maksudnya adalah “TAUHIDI”, yang berarti seluruh kehidupan berpusat pada Allah , Tuhan Yang Maha Esa. Allah sebagai ghayatul hayat (tujuan hidup).
Konsep tauhid sebagai aqidah Islam mengandung implikasi doktrinal bahwa tujuan kehidupan manusia adalah ibadah kepada Allah. (al-Dzariyat: 56 ) dan memikul amanah sebagai khalifah Allah di bumi. (al-Baqarah: 30, Yunus: 14, al An’am: 165)
Implikasi lebih lanjut dari konsep tauhid adalah berlakunya sistem nilai tauhid, di mana tauhid merupakan nilai dasar dari seluruh tatanan nilai dalam Islam sebagai norma dan pedoman hidup dalam berbagai bidang kehidupan Mengenai kehidupan beragama, keyakinan reliogius dalam Islam berakar pada pandangan teosentris (Tauhid) ini, yang berbeda secara substansial dengan sistem religiositas yang lain. Oleh karenanya istilah teosentrisme (tauhidi) lebih tepat digunakan sebagai paradigma Islam dibandingkan dengan istilah religius.

MAKNA HUMANISME TEOSENTRIS
Meminjam istilah Kuntowijoyo, sistem nilai tauhid ini mempunyai arus balik kepada manusia. Masudnya, walaupun kehidupan manusia berpusat pada Allah tetapi sesungguhnya tujuannya untuk memenuhi kebutuhan manusia sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya ayat-ayat Al-Quran bahwa Iman selalu dikaitkan dengan amal salih atau action (aktivitas manusia). Iman dan amal salih merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Iman tauhid harus selalu diaktualkan menjadi action (amal) dan sebaliknya amal baru bermakna bila didasarkan pada iman dan diorientasikan untuk ibadah kepada Allah. Nilai dan manfaat dari seluruh ibadah (mahdlah dan ghairu mahdlah) untuk memelihara harkat dan martabat manusia.
Misalnya, perintah zakat yang ditujukan pada orang yang beriman manfaatnya untuk kesejahteraan umat, bukan untuk kepentingan Tuhan karena Tuhan tidak membutuhkan harta zakat itu. Bahkan perintah salat dan puasa yang tujuannya untuk taqarrub ilallah dan membangun kecerdasan spiritual sebagai ekspresi kesalihan individual, juga harus berimplikasi pada kesalihan sosial. Begitu pula perintah melaksanakan amar makruf nahi munkar, sangat jelas ajaran ini ditujukan untuk serangkaian gerakan emansipasi dan pembebasan. Emansipasai kearah pencerahan (nur/cahaya Ilahi) dan pembebasan dari kegelapan (dlulumat). Dalam bahasa sosologi amar makruf ditujukan untuk mengangkat posisi manusia ke fitrahnya sebagai makhluk yang paling mulia dan membebaskan manusia dari ketertindasan, kemiskinan dan kebodohan. Dari contoh ajaran Islam tersebut jelas bahwa hubungan fertikal manusia dengan memenuhi pertintah-Nya harus diaktualisasikan dalam bentuk hubungan horisontal antara sesama manusia dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Karena dalam praktek kehidupan bemasyarakat yang dibutuhkan adalah ekspresi kemanusiaan itu sebagai nilai obyektif dan universal, maka ajaran Islam yang bersifat humanis ini seharusnya lebih dikedepankan. Dengan penampilan yang humanis itu Islam akan dirasakan sebagai rahmatan lil’alamin oleh seluruh ummat manusia.

HUMANISME TEOSENTRIS SEBAGAI PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam tidak memisahkan antara pendidikan agama dan pendidikan sain / non agama, tetapi dalam pelaksanaan pembelajaran dapat dibedakan, baik dalam penyusunan kurikulum maupun strategi pembelajarannya.
TAJDID PENDIDIKAN AGAMA
Kurikulum penting untuk selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan. Kelembagaan dan regulasi atau aturan dan pedoman pelaksanaannya juga penting. Akan tetapi lebih penting dari semua itu adalah memperbaharui paradigma yang melandasi pelaksanaan pendidikan baik di sekolah maupun di luar sekolah. PAI di sekolah dianggap terlalu menekankan kognitif, tidak mampu mengembangkan afektif, karena jamnya sangat terbatas. PAI di masyarakat boleh jadi intelektualistis, romantis / apologis, atau sekedar hiburan. Menurut hemat saya PAI yang kita laksanakan selama ini cenderung menekankan paradigma teosentris kurang menekankan paradigma humanis. Paradigma yang tepat ditinjau dari prinsip dasar Islam adalah “humanisme teosentris”. Kalau hanya menekankan teosentris maka pembelajaran agama menjadi tekstualis, deduktif, dan normatif. Ajaran halal- haram, dosa dan pahala, sorga dan neraka menjadi dominan dan mejadi serba hitam-putih yang dampaknya, sikap keberagamaan menjadi kaku. Dengan paradigma humanisme teosentris akan membawa ajaran-ajaran agama yang transenden membumi, menyentuh dunia empiris dalam kehidupan manusia.
Humanisme teosentris merupakan dua konsep yang saling terkait menjadi satu kesatuan tak terpisahkan atas dasar pemahaman bahwa Islam adalah agama yang sangat humanis berdasarkan ketauhidan (Rahmatan lil’alamin). Di satu sisi Islam menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan menfasilitasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memelihara dan menyempurnakan keberadaannya sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia (Islam agama fitrah); Di sisi lain Islam menegaskan bahwa tujuan hidup manusia semata-mata untuk beribadah kepada Allah (teosentris). Akan tetapi nilai, hikmah, dan manfaat ibadah semata-mata untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan bukan untuk menyenangkan Tuhan. Misalnya, mengamalkan ibadah shalat, puasa, haji dan zakat dinilai benar manakala diaktualisasikan dalam kesalihan individu dan sosial. Jadi bukan semata-mata simbol ritual dan seremonial. Implikasi dari paradigma ini adalah:
1. Obyektivikasi pendidikan agama Islam artinya, dalam PAI tidak lagi sekedar mengembangkan kesadaran subyektif normatif dalam beragama, tetapi lebih menekankan kesadaran obyektif empiris. Implementasinya dalam PAI yaitu mengajarkan norma-norma Islam yang kebenarannya masih pada tataran subyektif-normatif (bagi pemeluknya) diaktualisasikan dalam kehidupan yang dapat diterima dan dirasakan oleh orang lain (non Islam) sebagai kebenaran dan kebaikan obyektif (rahmatanlil’alamin), yang substansinya adalah mengedepanan nilai-nilai kemanusiaan. Perintah untuk beriman kepada Allah selalu dikaitkan dengan amal shalih. Iman kepada Allah (tauhid) merupakan essensi teosentris, sedangkan amal shalih (keshalihan individu dansosial) merupakan essensi humanisme Islam. Parameter keberhasilan PAI ialah peserta didik mampu mengaktualisasikan keberagamaannya dalam perilaku yang membawa manfaat bagi diri dan lingkungannya. Khairunnas anfauhum linnas. K.H.Ahmad Dahlan ketika mengajar murid-muridnya surat Al-Ma’un merupakan contoh obyektivikasi pendidikan agama. Masih dalam konteks obyektivikasi PAI, Soedjatmoko menyarankan hendaknya pendidikan agama bukan saja berusaha meningkatkan kesadaan beragama, melainkan juga meningkatkan kemampuan bangsa untuk melihat pembangunan dalam perspektif transendental, untuk melihat iman sebagai sumber motivasi pembangunan dan untuk mengikutserakan iman dalam menyelami dan menghayati ilmu pengetahuan modern. Dengan demikian dapat meningkatkan kemampuan bangsa untuk menjalankan “ moral reasoning”.
2. Purifikasi PAI maksudnya adalah, pendidikan dimurnikan dari berbagai kepentingan, selain untuk memenuhi kebutuhan peserta didik terhadap agama Islam (Islam agama fitrah, Ar-Rum:30 ). Pengertian fitrah dalam ayat tersebut adalah kesiapan alamiah dan tabiiyah manusia untuk menerima agama. Kebutuhan manusia beragama adalah untuk mendapatkan arti kehidupan yang sebenarnya. Menurut W.H Clark arti kehidupan yang diberikan oleh agama itulah dorongan utama manusia beragama. Pendidikan agama yang tidak dapat mengantarkan manusia menemukan arti kehidupan dalam beragama berarti gagal. Oleh karenanya PAI bukan semata-mata untuk kepentingan Islam sendiri, apalagi hanya untuk kepentingan kelompok/ aliran/golonan. Kalau PAI dilakukan atas dasar kepentingan aliran/golongan, maka bisa menjadi kendala penemuan arti kehidupan tersebut karena ada kecenderungan pendidikan agama tidak mencerahkan dan mencerdaskan, tetapi pembodohan. Karena pembodohan itu pula umat Islam gampang ditarik ke medan konflik antar agama dan inter umat Islam sendiri dengan payung agama karena ajaran agama dimanipulasi untuk kepentingan kelompoknya. Radikalisme sebagian umat Islam dalam menyikapi Ahmadiyah merupakan gambaran ketidak cerdasan dalam beragama.
Pendidikan agama yang mencerdaskan.
Selain materi pendidikan agama, pendekatan dalam pendidikan agama yang mencerdaskan lebih penting yaitu pendekatan humanis, rasional, dan fungsional yang dilaksanakan secara sinergis.
Pendekatan humanis adalah memperlakukan peserta didik sebagai subyek pendidikan dengan segala potensinya, termasuk potensi keberagamaannya yang secara alami akan tumbuh berkembang. Peranan guru di sini sebagai motivator dan dinamisator dengan menfasilitasi murid untuk mengalami dan menghayati sendiri pesan-pesan ilahiyah dalam mengatasi persoalan kehidupan individu dan sosial. Brubacher menyebunya “Approach to God through the agency of human experience”. Pembelajaran agama secara doktriner dan taqlid dengan memposisikan guru sebagai sumber ilmu dan nilai yang harus digugu dan ditiru, apalagi pengkultusan guru, sementara murid diperlakukan sebagai obyek yang harus menerima apa saja yang datang dari gurunya ( murid bila iradah ) termasuk dehumanisasi pendidikan agama.
Pendekatan rasional adalah mengajarkan agama dengan mendayagunakan akal sehat. Salah satu ajaran terpenting dari ajaran Islam adalah iman kepada yang gaib (Allah). Dalam praktik keberagamaan banyak terjadi iman kepada yang gaib tereduksi menjadi sebuah keyakinan adanya kekuatan gaib semacam magik untuk menyelesaikan persoalan duniawi yang bersifat materiil. Cara berfikir demikian ini sering disebut logika mistika. Do’a-do’a yang mestinya megiringi sebuah upaya dan kerja keras berubah menjadi do’a instan yang seakan-akan dengan membacakan doa’ atau lafadl-lafadl tertentu, bim salabim apa yang dikehendaki bisa terjadi. Tayangan TV yang menyajikan ceritera – ceritera misteri banyak menampilkan sosok kiyai yang dengan do’anya bisa mengusir hantu atau mengubah nasib seseorang merupakan contoh pendidikan logika mistika. Kiyai yang diangap memiliki karamah yang bisa mendo’akan seseorang cepat kaya dan naik pangkat lebih digemari dari pada kiyai yang suka amar makruf nahi munkar. Logika mistika semacam ini perlu dihindarkan karena akan merusakkan akal sehat yang tidak mencerdaskan dan memberdayakan. Pendidikan agama dengan bisik-bisik, tidak transparan, secara tertutup seakan-akan sang guru mendapatkan wangsit juga cenderung menghilangkan akal sehat. Mestinya iman kepada Allah menjadi inspirasi untuk melakukakan karya-karya kemanusiaan yang sangat dibutuhkan untuk mewujudkan rahmatan lil’alamin.
Pendekatan fungsional yaitu melatih peserta didik untuk mencari hikmah dari setiap ajaran. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam ilmu syari’ah dijelaskan adanya lima hikmah syari’ah (hikmatu at-tasyri’): limuhafadlati ala ad-din (memelihara agama) , ala an-nafs (memelihara jiwa), a’la aql (memelihara akal), ala al-mal (memelihara harta benda), ‘ala an-nasb (memelihara keturunan). Dengan hikmah syariah tersebut memberi petunjuk bahwa dalam pendidikan agama bukan sekedar mengajarkan halal-haram, dosa dan pahala tanpa alasan nalariah, tetapi hendaknya peserta didik dituntun untuk berfikir mengapa sesuatu harus dilakukan atau ditinggalkan. Dalam agama memang ada unsur-unsur dogma, terutama dalam ibadah mahdloh yang mesti dikejakan dengan sami’na waatha’na. Misalnya dalam ibadah shalat dan haji ( thawaf, sa’i, wuquf dan melempar jamarah.). Mengenai tuntunan ibadah mahdloh kita tidak dibenarkan berkreasi sendiri karena kalau dilakukan menjadi bid’ah. Yang perlu dilakukan adalah memahamkan kepada peserta didik makna filosofis dari simbol- simbol yang ada dalam ibadah tersebut. Ali Syariati dalam bukunya “Hajji “ mencontohkan bagaimana kita memahami makna di balik simbol-simbol dalam ritual haji.
Di samping tiga pendekatan tersebut pada tingkatan tertentu peserta didik diajarkan metodologi dalam memahami agama secara interpretatif kontekstual terhadap wahyu dan reinterpretatif terhadap pemahaman dan pandangan keagamaan terdahulu, sehingga agama dirasakan selalu segar dan aktual. Tidak diseyogyakan guru mengajarkan apalagi memaksakan kepada murid hanya sebatas pengetahuan dan pemahaman hasil internalisasi kita dan ulama’ulama’ terdahulu, tetapi sebaiknya murid diberi kebebasan untuk melakukan inernalsasi nilai agama secara kontekstual dengan perubahan sosial yang dihadapi. Akan tetapi dalam pelaksanaan pendidikan. Mengenai pendekatan dan metode dalam pembelajaran agama tentunya harus disesuaikan dengan materi, sutuasi, kadar kemampuan peserta didik dan usia perkembangan anak. Misalnya untuk anak TK, pembelajaran agama lebih bersifat pendasaran keimanan dan latihan serta pembiasaan hidup beragama.
Kurikulum PAI.
Seiring dengan perubahan sosial kurikulum harus diubah atau disempurnakan sesuai dengan tuntutan masyarakat yang sedang berubah. Kalau tidak diubah, maka pendidikan sekolah akan tidak sesuai lagi dengan keadaan yang berubah itu. Ea reformasi yang berdampak perubahan sosial yang substansinya demokratisasi dalam segala bidang kehidupan, nampaknya telah diikuti dengan perubahan kurikulum yakni lahirnya KBK dan KTSP. Sesungguhnya KBK yang lahir di era reformsi tidak jauh berbeda dengan kurikulum 1994 yang berbasis tujuan karena tujuan yang dirumuskan dalam kurikulum 1994 pada dasarnya juga sebuah kopetensi yang terukur. Perbedaannya, kurikulum berbasis tujuan dikembangkan berdasarkan paradigma kurikulum top-down, sedangkan KBK dikembangkan berdasarkan paradigma demokratis.
Khusus penyempurnaan kurikulum PAI sejak kurikulum 1994 sampai KBK, ditinjau dari struktur dan muatan masing-masing komponennya boleh dikatakan sudah memadai. Bahkan kalau dilihat dari pendekatannya sudah mengarah ke pendekatan humanistik, bukan akademik atau teknologik. Namun, karena pendidikan agama sarat dengan pendidikan nilai, maka diperlukan adanya “HIDDEN CURRICULUM”(kurikulm terselubung) yang sangat mempengaruhi pembentukan sikap, persepsi dan perilaku siswa. Artinya, hanya mengandalkan kurikulum tertulis (dibakukan) dan yang secara langsung diajarkan tidak cukup. Ada tiga variabel penting dalam pengelolaan dan pengembangan sekolah yang menjadi bagian integal hidden curriculum, yaitu :
1. Variabel organisasi. Menegemen sekolah yang baik yang selanjutnya mendatangkan image positip di kalangan siswa akan mempengaruhi sikap dan perilaku siswa. Misalnya siswa memiliki komitmen terhadap almamater. Siswa terpanggil untuk menjunjung tinggi nilai-nilai yang dibangun oleh sekolah.
2. Variabel sistem sosial. Suasana sekolah yang tergambar dalam hubungan positip - saling menghargai antara pimpinan sekolah dengan staf, guru dengan teman sejawat, guru dengan siswa, dan partisipasi siswa dalam memajukan sekolah, semuanya itu mempengaruhi peilaku siswa.
3. Variabel budaya. Budaya jujur, tertib dan disiplin, budaya akademis, budaya religius, dan lain-lain yang sifatnya menjunjung tinggi nilai-nilai akan mempengaruhi sikap dan perilaku siswa. Tindakan guru membocorkan soal UN, membantu siswa nyontek, dan mengubah hasil pekerjaan siswa sebagaimana yang dilansir media merupakan hidden curriculum yang meracuni akhlak siswa. Tujuan menghalakan segala cara. Variabel budaya ini tidak hanya sesuatu yang terjadi disekolah, tetapi lebih luas lagi, bahwa semua perilaku sosial (baik/buruk) yang terjadi di mayarakat dan dilihat oleh siswa bisa menjadi hidden currikulum. Agama mengajarkan kejujuran, yang dilihat budaya korupsi, agama mengajarkan cinta damai, yang dilihat budaya kekerasan, agama mengajarkan disiplin dan kerja keras, yang dilihat banyak orang mencari jalan pintas menuju sukses. Itulah hidden kurikulum (negatip) yang terinternalisasi pada diri anak-anak bangsa yang sedang dalam proses pembentukan kepribadiannya. Mau jadi apa nantinya.?
Untuk merevormasi kurikulum sekolah (kurikulum tertulis) yang sudah ada, nampaknya saat ini belum diperlukan karena masih dipandang relevan. Yang harus dibenahi adalah:
Pertama, mengembangkan hidden currikulum- nya. Artinya memperbaiki menejemen sekolah, penciptaan sosial dan pengembangan budaya yang kondusif bagi tumbuhkembangnya nilai-nilai luhur.
Kedua, para guru agama, baik guru agama di sekolah maupun di luar sekolah seperti para ustadz dan muballigh mengubah paradigma dari sebatas teosentris menjadi humanisme teosentris. Sebagaimana dikemukakan di atas, implikasi paradigma ini pendidikan agama dilakukan dengan obyektivikasi dan purifikasi PAI. Dengan obyektivikasi PAI nilai-nilai agama yang sangat humanis dapat diaktualisasikan dalam kehidupan empiris. Agama dirasakan manfaatnya bagi semua orang sebagai kebenaran dan kebaikan obyektif, sehingga keberadaannya dibutuhkan. Dengan purifikasi PAI, pendidikan agama hendaknya dihindarkan dari kepentingan aliran, dan golongan, tetapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan siswa akan agama. Dengan purifikasi PAI, pendidikan agama dapat mencerdaskan dan mencerahkan bukan pembodohan. Agar pendidikan agama mencerdaskan perlu menggunakan pendekatan humanis, rasional, dan fungsional.

TAJDID PENDIDIKAN SAINS.
Perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi sejak awal abad dua puluh didominasi oleh alam pikiran Barat yang sekuler. Pengembangan sains didasarklan atas paradigma epistemologi antroposentrisme, artinya segala sesuatu berpusat pada manusia. Kebenaran ilmiah dan nilai (moral) hanya berdasarkan pertimbangan empirik, indrawi dan rasio manusia.Tidak memerlukan intervensi Tuhan karena memang tidak mengakui adanya kebenaran Ilahiyah (wahyu). Celakanya dunia muslim dalam posisi tidak berdaya, sehingga dalam pengembangan peradaban termasuk pengembangan ilmu pengetahuan sepenuhnya berkiblat ke Barat sehingga dualisme pendidikan agama dan sains di kalangan Muslim semakin menguat. Untuk memulihkan integrasi pendidikan agama dan umum tidak cukup hanya diselesaikan secara adhok, tetapi perlu kembali kepada epistemologi Islam.
Berbeda dengan Barat dan masyarakat sekuler epistemologi Islam berdasaraakan paradigma ANTROPO-THEOCENTRISM artinya, di satu sisi mengakui potensi dan kapasitas manusia dengan akal budinya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi di sisi lain meyakini bahwa Allah adalah sumber kebenaran bahkan sumber ilmu. Tidak ada pertentangan antara kebenaran wahyu dan akal. ( Osman Bakar, Tauhid Ilmu ),
Dalam Islam seluruh ilmu persumber dari Allah, tidak ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Sains ( peristiwa-peristiwa alam dan sosial merupakan sunnatullah dan merupakan obyek ilmu pengetahuan. Oleh karenanya pendidikan sains adalah mengembangkan kemampuan memahami dan menghayati hukum-hukum alam (sunnah allah). Misalnya mengajarkan fisika, harus dibingkai dengan nilai ketauhidan. Hal ini dapat dikemas dengan orientasi pada penemuan sunnah Allah yang nampak dalam peristiwa dan hukum-hukum alam. Al-Quran yang 80% ayat-ayatnya menuntun kita untuk mengembangkan sains, perlu menjadi prioritas perhatian dunia pendidikan Muslim. Sasaran akhir dari pembelajarn sains adalah menguatkan keimanan kepada Allah –al-Khaliq, makrifatullah, dan menjadikan ilmu untuk rahmatan lil’alamin. Di lingkungan Universitas Muhammadiyah idealita semacam itu dikemas dalam Visi-Misi, yang substansinya adalah ” UNGGUL DALAM ILMU, ISLAMI DALAM PERILAKU”.

http://achmadifauzan2010.blogspot.com/

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan anda


Online form powered by 123ContactForm.com | Report abuse

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons