2/11/2014

MAKNA, NILAI, TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM (Tinjauan Kritis Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an)






A.     Pengertian Pendidikan
Untuk menghindarkan kesalahan didalam mengartikan makna pendidikan, terlebih dahulu akan diruntut asal kata yang membentuk kata pendidikan mengingat konsep tersebut berasal dari term beragam bahasa.
1.     Al-tarbiyah, Al-ta’dib dan Al-ta’lim. Ketiga istilah tersebut berasal dari bahasa Arab. Kata Al-tarbiyah berasal dari kata rabba. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Dalam penjelasan lain menurut Abdurrahman An Nahlawi bahwa kata Al-tarbiyah berasal dari tiga kata yaitu pertama, rabba yarbu yang berarti tambah, tumbuh dan berkembang. Kedua, rabiya yarbu berarti menjadi besar. Ketiga rabba yarubbu berarti memperbaiki, menguasai urusan, membantu dan memelihara.[1][1]
Al-ta’lim berarti proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan atau ketentuan tertentu. Apabila kata ta’lim diambil dari al-Quran Surat al-Baqoroh: 30-31 maka maknanya akan condong kepada pemberian informasi, sehingga peserta didik posisinya menjadi pasif adanya. Al-ta’dib menurut Al Attas berarti pengenalan atau pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kedalam diri manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan. Dengan adanya penjelasan ini menyebabkan pendidikan sebagai pembimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.[2][2]
2.     Educatio. Kata ini berasal dari bahasa Latin atau education yang berasal dari bahasa Inggris. Kedua kata tersebut dalam bahasan pendidikan barat lebih menekankan pada aspek pisik dan material.
3.     Paedagogie artinya pendidikan. Disamping itu ada istilah yang hampir sama bentuknya, yaitu paedagogik berarti ilmu pendidikan. Paedagogik berasal dari kata Yunani, paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak-anak. Paedagogis adalah pelayan atau bujang pada zaman Yunani kuno yang pekerjaannya mengatur dan menjemput anak-anak sekolah. Paedagogis yang asalnya berarti rendah  (pelayan, bujangan) sekarang dipakai untuk pekerjaan yang mulia ialah seorang yang tugasnya membimbing anak dalam pertumbuhan agar dapat berdiri sendiri.
Terlepas dari perbedaan makna beberapa term diatas secara terminologi, para pakar pendidikan telah mencoba menyusun atau memformulasikan pengertian pendidikan sebagai berikut:
Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Di Indonesia agaknya definisi ini telah begitu mapan. Memang benar, definisi itu baik, mudah dipahami, secara relatif mudah dijabarkan menjadi tujuan-tujuan khusus pendidikan. Akan tetapi, sebenarnya definisi itu masih terlalu sempit, belum mencakup seluruh kegiatan yang disebut pendidikan. Di sana dikatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan terhadap.., dan seterusnya. Jadi, pendidikan itu terbatas pada kegiatan pengembangan pribadi anak didik oleh pendidik berupa orang; jadi, ada orang yang mendidik.[3][3]
Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan sebagai suatu tindakan (action) yang diambil oleh suatu masyarakat kebudayaan atau peradaban untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival).[4][4] Hal ini ditegaskan kembali oleh Lodge, bahwa pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Orang tua mendidik anaknya, anak mendidik orang tuanya, guru mendidik muridnya, murid mendidik gurunya, bahkan anjing mendidik tuannya. Semua yang kita sebut atau kita lakukan dapat disebut mendidik kita. Begitu juga yang disebut dan dilakukan orang lain terhadap ikita, dapat disebut mendidik kita. Dalam pengertian luas ini kehidupan adalah pendidikan, dan pendidikan adalah kehidupan.[5][5]
Park mengatakan bahwa pendidikan adalah the art of imparting or acquiring knowledge and habit through instructional as study. Pendidikan adalah pengajaran.[6][6] Alfred North Whitehead mengambil pengertian pendidikan yang sangat sempit. Ia menyatakan bahwa pendidikan adalah pembinaan keterampilan menggunakan pegetahuan.[7][7]
Dalam pengertian yang luas, pendidikan ialah pengembangan pribadi dalam semua aspeknya, dengan penjelasan bahwa yang dimaksud pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru). Seluruh aspek mencakup jasmani, akal, dan hati. Pendidikan berupa pengaruh alam sekitar sulit sekali dirancang oleh manusia. Pendidikan berupa pengaruh budaya juga sulit dirancang. Oleh karena itu, teori-teori pendidikan oleh lingkungan kurang dikembangkan. Pendidikan oleh diri sendiri juga agak sulit diatur, dan teori-teorinya juga tidak seberapa banyak perkembangannya. Pendidikan oleh orang terhadap orang itulah yang secara relatif mudah direkayasa. Pendidikan ini dibagi ke dalam tiga macam, yaitu pendidikan di dalam rumah tangga, di masyarakat, dan di sekolah.[8][8]
Di antara ketiga tempat pendidikan itu, pendidikan di sekolah itulah yang paling ‘mudah’ direncanakan, teori-teorinya pun berkembang dengan pesat sekali. Sekarang, bila orang berbicara tentang teori pendidikan, hampir dapat dipastikan bahwa yang dimaksudkannya adalah pendidikan di sekolah. Selanjutnya, dalam hal ini ketiga macam tempat pendidikan itulah yang ingin diuraikan (rumah tangga, masyarakat, sekolah); teori-teorinya (menurut pandangan al-Qur’an) terutama sekali teori-teori pendidikan sekolah.
Dari beberapa pengertian terdahulu tentang pendidikan, jelaslah bahwa pendidikan adalah bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal. Dengan demikian, pendidikan Islam sebenarnya sudah mulai dapat dirumuskan. Akan tetapi, ini adalah pendidikan dalam arti sempit. Jadi, pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang (pendidik) terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal yang positif. Usaha itu banyak macamnya. Satu di antaranya ialah dengan cara mengajarnya, yaitu mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Selain itu, ditempuh juga usaha lain, yakni memberikan contoh (teladan) agar ditiru, memberikan pujian dan hadiah, mendidik dengan cara membiasakan dan lain-lain yang tidak terbatas jumlahnya.[9][9]
Jadi pendidikan merupakan setiap usaha secara sadar yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak dalam rangka membantu mengembangkan jasmani dan rohani sehingga ia dapat memenuhi tugas hidup dan tanggung jawabnya sebagai manusia. Dengan demikian pendidikan juga bisa disebut pimpinan, karena setiap aktivitas pendidikan selalu memberikan bantuan kepada siterdidik didalam mengembangkan, menumbuhkan, membentuk dan mengeluarkan segala potensi yang dimiliki subyek didik.
B.     Teori – Teori Tentang Pendidikan
Dalam hal ini ada dua pendirian yang bertentangan :
1.     Teori Tabularasa (Jhon Locke dan Francis Bacon)
Teori ini menyatakan bahwa anak yang baru dilahirkan bagaikan kertas putih yang belum ditulisi. (A sheet of white paper avoid of all characters). Jadi sejak lahir anak tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Disini pendidikan mempunyai kekuatan penuh dalam membentuk anak, sehingga teori ini disebut empirisme karena aliran ini berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia itu timbul dari pengalaman yang masuk melalui alat indra.
2.     Teori Nativisme.
Nativus (latin) berarti kelahiran. Aliran nativisme berpendapat bahwa tiap-tiap anak sejak dilahirkan sudah mempunyai berbagai pembawaan yang akan berkembang sendiri menurut arahnya masing-masing. Pembawaan anak-anak itu ada yang baik dan ada yang buruk. Pendidikan tidak perlu dan tidak berkuasa apa-apa sehingga aliran ini disebut pesimisme.
Kedua teori ini oleh W. Stern, ahli ilmu jiwa bangsa Jerman disempurnakan dengan cara dipadukan sehingga lahir teori kanvergensi. Menurut teori ini hasil pendidikan anak ditentukan oleh dua faktor yaitu pembawaan dan lingkungan.
Boleh jadi teori kanvergensi lebih tepat diperuntukkan bagi binatang, karena perkembangan binatang hanya dibentuk atas pembawaan keturunan dan hukum-hukum alam.
Tetapi teori korvengensi menjadi hilang ketepatannya apabila diterapkan bagi manusia, mengingat perkembangan manusia bukan hasil belaka dari pembawaan dan lingkungan. Manusia adalah makhluk alternatif yang dapat dan sanggup memilih dan menentukan sesuatu mengenai dirinya dengan bebas.
Kesimpulannya adalah proses kemajuan perkembangan manusia tidak dapat lepas dari faktor-faktor bawaan yang turun temurun yang oleh aktivitas dan pemeliharaan atau penentuan manusia sendiri yang dilaksanakan dengan bebas dibawah pengaruh faktor-faktor lingkungan tertentu, berkembang menjadi sifat-sifat. Dari penjelasan diatas nyatalah bahwa proses pendidikan selalu dekat dan tidak dapat melepaskan dari lingkungan dan pembawaan. Dan terjadinya perbedaan pendirian sebenarnya hanya disebabkan oleh berbedanya arah pandang dalam menatap pendidikan.
Satu sisi memandang pendidikan dengan kacamata individu sehingga tugasnya pengembangan potensi-potensi laten yang terpendam dan tersembunyi, sedangkan pada sisi lain memandang pendidikan dari segi pandangan masyarakat sehingga tugas pendidikan adalah, pewarisan nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tetap terpelihara. Namun walaupun terjadi titik-titik keanekaragaman pandangan tentang pendidikan, tetapi tetap ditemukan titik temunya yaitu apabila pendidikan dilihat sebagai proses. Dengan proses itu pendidikan secara sengaja menimbulkan dan mengembangkan potensi bawaan terdidik dan melalui proses pula pendidikan mewariskan nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat kepada si terdidik sesuai lingkungannya.
C.     Pengertian Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an
   Pendidikan dalam al-Qur’an menunjukkan warna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan yang Islami, yaitu pendidikan yang berdasarkan Islam. Dibagian awal telah dikemukakan mengenai pendapat-pendapat tentang pengertian pendidikan, dari pendapat-pendapat tersebut barulah dibahas apa pendidikan itu menurut Islam.
Konferensi internasional tentang pendidikan Islam yang pertama (1977) ternyata tidak juga berhasil menyusun definisi pendidikan yang dapat disepakati mereka. Sulitnya merumuskan definisi pendidikan disebabkan antara lain oleh: [10][10]
1.      Banyaknya jenis kegiatan yang dapat disebut sebagai kegiatan pendidikan;
2.      Luasnya aspek yang dibina oleh pendidikan.
Sebelum ini sudah dijelaskan bahwa Konferensi Internaslonal Pendidikan Islam Pertama (First World Conference on Muslim Education) yang diselenggarakan oleh Universitas King Abdul Aziz, Jeddah, pada tahun 1977, belum berhasil membuat rumusan yang jelas tentang definisi pendidikan menurut Islam. Dalam bagian "Rekomendasi" Konferensi tersebut, para peserta hanya membuat kesimpulan bahwa pengertian pendidikan menurut Islam ialah keseluruhan pengertian yang terkandung di dalam istilah tâ'lim, tarbîyyah, dan tâ'dîb.
Untuk lebioh jelasnya marilah kita tengok kembali beberapa pendapat tokoh Islam mengenai pendidikan Islam:
1.      Sayid Muhammad al-Naquib al-Attas
Beliau mencoba menjelaskan ketiga istilah dalam bahasa Arab itu. Menurut Naquib al-Attas dalam bukunya, istilah ta'dib adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan, sementara istilah tarbîyyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mencakupi juga pendidikan untuk hewan.[11][11] Selanjutnya ia menjelaskan bahwa istilah tâ'dib merupakan masdar kata kerja addâbâ yang berarti pendidikan.[12][12]
Dari kata addâbâ ini diturunkan juga kata âdâbun. Menurut al-Attas, adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang. Berdasarkan pengertian adab seperti itu, Al-Attas mendefinisikan pendidikan (menurut Islam) sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud tersebut. [13][13]
2.      Abdurrahman al-Nahlawi
Beliau merumuskan definisi pendidikan justru dari kata al-tarbiyah. Dari segi bahasa, menurut pendapatnya, kata al-tarbiyah berasal dari tiga kata, yaitu: pertama, kata raba-yarbu yang berarti bertambah, bertumbuh, seperti yang terdapat di dalam al-Quran surat al-Rum ayat 39; kedua, rabiya-yarba yang berarti menjadi besar; ketiga, dari kata rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara. Menurut Imam Al-Baidlawi di dalam tafsirnya (lihat Al-Nahlawi, 1989: 31) arti asal al-rabb adalah al-tarbiyah, yaitu menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit sehingga sempurna. Ashfahani (lihat Al-Nahlawi:32) sependapat dengan Baidlawi.[14][14]
Berdasarkan ketiga kata itu, Abdurrahman al-Bani (lihat Al-Nahlawi: 32) menyimpulkan bahwa pendidikan (tarbiyah) terdiri atas empat unsur, yaitu: pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa (baligh); kedua, mengembangkan seluruh potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan (rupanya ia membedakan antara fitrah dan potensi); dan keempat, dilaksanakan secara bertahap. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menurut ajaran Islam.

3.      Baidlawi dan Al-Bani
Beliau berpendapat bahwa, agaknya benar apa yang tadi dikatakan al-Attas, bahwa al-tarbiyah terlalu luas cakupannya. Baidlawi dan Al-Bani di sini kelihatannya dengan sengaja menyempitkan pengertian ketiga istilah itu (raba-rabiya-rabba). Hal ini perlu ditekankan karena istilah yang digunakan sekarang untuk pendidikan adalah al-tarbiyah, bukan al-ta'dib seperti yang diusulkan oleh al-Attas secara tersirat. Kita mengenal istilah fakultas tarbiyah.
4.      Abdul Fattah Jalal
Menurut Abdul Fattah Jalal (1988: 27), proses ta'lîm justru lebih universal dibandingkan dengan proses al-tarbiyah. Untuk menjelaskan pendapatnya ini, Jalal memulai uraiannya dengan menjelaskan kedudukan ilmu (pengetahuan) dalam Islam. Ia mengutip ayat al-Quran surat al-Baqarah ayat 30-34 yang artinya sebagai berkut:
Ingatlah tatkala Rabb-mu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu? Allah menjawab, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. Dan la mengajarkan kepada Adam nama benda-benda seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman, sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kalian merasa yang benar. Mereka menjawab, mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui serta Maha bijaksana. Allah berfirman, hai Adam, beritahulah kepada mereka nama benda-benda ini. Setelah diberitahukan kepada mereka nama benda-benda itu, Allah berfirman, bukankah sudah Kukatakan kepada kalian bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian perlihatkan dan kalian sembunyikan? Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat, bersujudlah kalian kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Iblis itu enggan (sujud) dan takabur, karena itu ia termasuk golongan kafir”.[15][15]

Menurut Jalal, dalam ayat-ayat itu terkandung pengertian bahwa kata ta’lim jangkauannya lebih jauh serta lebih luas daripada kata tarbiyah. Kemudian Jalal mengutip ayat 151 surat al-Baqarah, yang artinya adalah:
“Kami telah mengutus kepada kalian rasul dari kalian yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian dan menyucikan kalian dan mengajarkan kepada kalian al-Kitab dan al-Hikmah serta mengajarkan kepada kalian apa-apa yang belum kalian ketahui".[16][16]
Berdasarkan ayat ini, menurut Jalal, kita dapat mengetahui bahwa proses ta'lim lebih universal dibandingkan dengan proses tarbiyah. Sebab, ketika mengajarkan bacaan al-Quran kepada kaum Muslimin, Rasul saw. tidak terbatas pada membuat mereka sekadar dapat membaca, tetapi membaca dengan perenungan yang berisi pemahaman, tanggung jawab, dan amanah. Dari membaca semacam ini Rasul membawa mereka kepada tazkiyah (penyucian) diri dan menjadikan diri itu berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-Hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui. Al-Hikmah, menurut Jalal, tidak dapat dipelajari secara parsial, tetapi harus secara menyeluruh terintegrasi. Kata al-hikmah berasal dari al-ihkâm, yang berarti kesungguhan di dalam ilmu, amal, atau di dalam kedua-duanya. Oleh karena itu, Allah menyatakan bahwa hamba-hambanya yang diberi al-hikmah adalah hamba yang baik.[17][17]
Allah memberikan al-hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan barang siapa yang diberi al-hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak (al-Baqarah:269). Adapun kata al-tarbiyah, menurut Jalal, hanya kita dapatkan dalam al-Quran di dua tempat, yaitu pada surat al-Isra' ayat 24: “....dan ucapkahlah, ya Rabb, kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua mendidik aku waktu kecil”. Yang satu lagi ada di dalam ayat 18 surat al-Syu'ara: “Fir'aun menjawab, bukankah kami telah mendidikmu di dalam (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu”.[18][18]
Menurut Jalal, kedua ayat di atas menjelaskan bahwa al-tarbiyah ialah proses pengasuhan pada fase permulaan pertumbuhan manusia; sekarang fase itu kita sebut periode kanak-kanak. Ayat 24 surat al-Isra’ menunjukkan bahwa pendidikan pada fase ini menjadi tanggung jawab keluarga, yaitu ibu dan ayah tatkala anak masih berada dalam periode kebergantungan. Dalam ayat 18 al-Syu'ara di atas dijelaskan kebaikan Fir'aun kepada Nabi Musa a.s. bahwa ia telah mendidiknya pada masa kecil Musa dan tidak memasukkannya ke dalam golongan anak-anak yang dibunuh ketika itu. Musa telah dianggap anggota keluarga selama beberapa tahun. Jelaslah kedua ayat ini menegaskan bahwa pengertian tarbiyah lebih sempit daripada ta’lim yang mempunyai pengertian yang lebih dalam dan lebih luas.
Selanjutnya Jalal menjelaskan bahwa ta’lim tidak berhenti pada pengetahuan yang lahiriah, juga tidak hanya sampai pada pengetahuan taklid. Ta’lim mencakup pula pengetahuan teoretis, mengulang kaji secara lisan, dan menyuruh melaksanakan pengetahuan itu. Ta’lim mencakup pula aspek-aspek pengetahuan lainnya serta keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan serta pedoman berperilaku. Pengertian itu diambil Jalal dari ayat 5 surat Yunus. Ayat ini menjelaskan aspek-aspek pengetahuan seperti ilmu falak, teknik, dan logika (pembuktian adanya Allah).[19][19]
Jadi, berdasarkan analisis itu Abdul Fattah Jalal menyimpulkan bahwa menurut al-Quran, ta’lim lebih luas serta lebih dalam daripada tarbiyah. Berbeda dari Al-Attas, Jalal tidak membandingkannya dengan ta’dib. Mungkin karena bersilangnya pendapat inilah maka konferensi pendidikan di Jeddah tahun 1977 itu hanya menyimpulkan secara umum bahwa pendidikan menurut Islam terkandung di dalam tiga istilah: ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Istilah tarbiyah yang umum digunakan sekarang (fakultas tarbiyah, misalnya; juga nama buku-buku pendidikan memakai kata itu) menurut hemat penulis dapat saja terus digunakan, tetapi ia harus mencakup pengertian yang dikandung oleh ketiga istilah di atas (ta'lim, tarbiyah, ta'dib).
Jadi dalam penulisan ini, pendidikan dalam perpektif al-Qur’an pada ialah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Bila disingkat, bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi Muslim semaksimal mungkin.
D.    Tujuan Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an
Dasar kehidupan adalah pandangan hidup. T.S. Eliot menyatakan bahwa pendidikan yang amat penting itu tujuannya harus diambil dari pandangan hidup. Jika pandangan hidup (philosophy of life) anda adalah Islam maka tujuan pendidikan menurut anda haruslah diambil dari ajaran Islam.[20][20]
Al-Attas menghendaki tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Ini terlalu umum.[21][21] Marimba berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya orang yang berkepribadian Muslim. Ini pun amat umum; ia memang menyebutnya sebagai tujuan akhir.[22][22] Al-Abrasyi menghendaki tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang berakhlak mulia. Ini juga amat umum.[23][23] Munir Mursyi menyatakan bahwa tujuan akhir pendidikan menurut Islam adalah manusia sempurna. Ini pun terlalu umum, sulit dioperasikan; maksudnya, sulit dioperasikan dalam tidndakan perencanaan dan pelaksanaan pendidikan secara nyata.23
Menurut Abdul Fattah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. la mengatakan bahwa tujuan ini akan mewujudkan tujuan-tujuan khusus. Dengan mengutip surat al-Takwir ayat 27, Jalal menyatakan bahwa tujuan itu adalah untuk semua manusia. Jadi, menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia (sekali lagi: seluruh manusia) menjadi manusia yang menghambakan diri kepada Allah. Yang dimaksud dengan menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah. Islam rnenghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. [24][24]
Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan salat, saum pada bulan Ramadan, mengeluarkan zakat, ibadah haji, dan mengucapkan syahadat. Di luar itu bukan ibadah. Sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Ibadah adalah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah. Dalam kerangka inilah maka tujuan pendidikan haruslah mempersiapkan manusia agar beribadah seperti itu, agar ia menjadi hamba Allah (‘ibad al-rahman). Dengan melihat tujuan umum seperti ini dapatlah dibuat rumusan tujuan pendidikan yang lebih khusus, yaitu dengan mempelajari lebih dahulu apa saja aspek ibadah tersebut.[25][25]
Muhammad Quthb, tatkala membicarakan tujuan pendidikan, menyatakan bahwa tujuan pendidikan lebih penting daripada sarana pendi-dikan. Sarana pendidikan pasti berubah dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, bahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Akan tetapi, tujuan pendidikan tidak berubah. Yang dimaksud ialah tujuan pendidikan yang umum itu. Tujuan pendidikan yang khusus dapat berubah sesuai dengan kondisi tertentu. Namun, bagian yang mendasar dalam tujuan pendidikan yang khusus tidak pernah berubah. Selanjutnya ia juga menyatakan, bahwa tujuan umum pendidikan adalah manusia yang takwa.[26][26]
Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam (1977) berkesimpulan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah.[27][27]
Membicarakan tujuan pendidikan umum memang penting. Tujuan umum itu tetap, menjadi arah pendidikan Islam. Untuk keperluan pelaksanaan pendidikan, tujuan itu harus dirinci menjadi tujuan yang khusus, bahkan sampai ke tujuan yang operasional. Usaha merinci tujuan umum itu sudah pernah dilakukan oleh para ahli pendidikan Islam. Al-Syaibani, misalnya, menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi:
1.      Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan rohani, dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2.      Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat/ memperkaya pengalaman masyarakat. 
3.      Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
4.      Al-Abrasyi merinci tujuan akhir pendidikan Islam menjadi:
5.      Pembinaan akhlak;      
6.      Menyiapkan anak didik untuk hidup di dunia dan di akhirat;
7.      Penguasaan ilmu;       
8.      Keterampilan bekerja dalam masyarakat.[28][28]
Bagi Asma Hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan Islam dapat dirinci sebagai berikut:
1.     Tujuan keagamaan;
2.     Tujuan pengembangan akal, akhlak;
3.     Tujuan pengajaran kebudayaan;
4.     Tujuan pembinaan kepribadian.[29][29]
Munir Mursi sendiri menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi sebagai berikut:
1.      Bahagia di dunia dan di akhirat;
2.      Menghambakan diri kepada Allah;
3.      Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat Islam;
4.      Akhlak mulia.[30][30]
Al-'Aynayni (1980:153-217) membagi tujuan pendidikan Islam menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum ialah beribadah kepada Allah, maksudnya membentuk manusia yang beribadah kepada Allah. Selanjutnya ia mengatakan bahwa tujuan umum ini sifatnya tetap, berlaku di segala tempat/waktu, dan keadaan. Tujuan khusus pendidikan Islam ditetapkan berdasarkan keadaan tempat dengan mempertimbangkan keadaan geografi, ekonomi, dan lain-lain yang ada di tempat itu.[31][31]
Tujuan khusus ini dapat dirumuskan berdasarkan ijtihad para ahli di tempat itu. Selanjutnya ia membagi aspek-aspek pembinaan dalam pendidikan Islam, jadi bukan pembagian tujuan pendidikan menjadi tujuan-tujuan khusus. Aspek-aspek pembinaan dalam pendidikan Islam menurutnya ialah sebagai berikut: aspek jasmani, aspek akal, aspek akidah, aspek akhlak, aspek kejiwaan, aspek keindahan, aspek kebudayaan.
E.     Nilai-nilai Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an
Nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Esensi belum berarti sebelum dibutuhkan oleh manusia, tetapi tidak berarti adanya esensi karena adanya manusia yang membutuhkan. Hanya saja kebermaknaan esensi tersebut semakin meningkat daya tangkap dan pemaknaan manusia itu sendiri. Hal senada sesuai dengan pendapat Syam, bahwa nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam masyarakat. Nilai ini merupakan suatu realita yang sah sebagai suatu cita-cita yang benar dan berlawanan dengan cita-cita palsu atau bersifat khayali. [32][32]
Salah satu keistimewaan manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain adalah kemampuannya dalam melawan instinknya. Selain itu manusia memiliki kemauan bebas (free will). Oleh Allah manusia diciptakan dengan bentuk paling sempurna.31 Ia tidak hanya berujud fisik maupun psikisnya saja akan tetapi dilengkapi dengan unsur ruh yang berasal dari diriNya.[33][33]
Tiupan ruhNya ini menjadikan manusia mampu memanifestasikan sifat-sifatNya di bumi. Adanya ruh ini menyebabkan manusia dapat tampil beda dan keberadaannya menjadi sangat mungkin paling berkualitas dibanding makhluk lain termasuk dengan malaikat. Keunggulan ini menyebabkan manusia mampu memikul beban dan tanggung jawab (taklif) serta mendapatkan predikat khalifatullah fil ardhi. Maksudnya adalah manusia mampu menjadi mandataris untuk menerjemahkan, menjabarkan dan mewujudkan fungsi Allah sebagai rabbul-a’lamin dan rabbunnas di dunia ini.[34][34]
Kaitannya sebagai khalifah di bumi manusia dituntut dapat mengemban amanat secara baik dan penuh tanggung jawab serta menempatkan dirinya secara konsekuen dan proporsional dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan alam.
Sejalan dengan fungsinya itu maka kepada manusia dianugerahkan oleh penciptaNya berbagai potensi yang dapat dikembangkan melalui bimbingan dan tuntunan yang terarah dan berkesinambungan. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia adalah mahluk yang berpotensi untuk dididik, dapat dikembangkan potensinya sekaligus mampu mengembangkan dirinya. [35][35]
Berkaitan potensi yang dimiliki manusia, berdasarkan pada penjelasan al-Qur’an bahwa didalam diri manusia terdapat potensi yang baik dan yang jelek. Potensi tersebut antara lain untuk potensi untuk bertumbuh dan berkembang secara fisik (QS. 23: 12-14) dan juga potensi untuk tumbuh dan berkembang secara mental spiritual, meliputi kemampuan untuk berbicara (QS.55: 4), menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu dengan mengajarkan manusia dengan kalam (baca tulis) dan segala apa yang tidak diketahuinya (QS. 96: 4-5), kemampuan untuk mengenal Tuhan atas dasar perjanjian awal didalam ruh dalam bentuk kesaksian (QS. 7: 172).
Selain potensi yang baik atau positif manusia juga dibekali potensi lain yang berpeluang untuk mendorong manusia kearah tindakan, sikap, serta perilaku negatif dan merugikan. Potensi tersebut antara lain ditampilkan dalam bentuk kecenderungan manusia untuk berlaku dholim dan mengingkari nikmat (QS.14: 34), tidak berterima kasih dan mudah putus asa  (QS.11: 9) sombong apabila telah berkecukupan (QS. 3: 181) cenderung lalai terhadap tugas dan tanggung jawabnya (QS.21: 12).[36][36]
Kecenderungan potensi negatif ini pada saatnya pasti akan membawa kerugian dan menghambat tugas kekhalifahannya. Karenanya sebagai mahluk alternatif manusia diharuskan selalu berupaya mengatasi segala hambatan dan meminimalisasi sekecil mungkin potensi-potensi negatif yang ada pada dirinya serta tidak larut dalam bawaan dorongan negatif yang pasti akan menghancurkannya.
Sejalan dengan potensi yang dimiliki manusia maka proses dan peran pendidikan menjadi amat krusial, terutama apabila dititik beratkan pada upaya untuk mengembangkan potensi positifnya. Potensi positif yang dimiliki manusia itu melalui proses pendidikan diharapkan dapat menciptakan motivasi dan daya kreasi yang dapat menghasilkan sejumlah aktivitas berupa pemikiran  (ilmu pengetahuan), merekayasa temuan-temuan baru dalam berbagai bidang. Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya sebagai mahluk yang berbudaya dan berperadaban.  Untuk mencapai maksud tersebut proses pendidikan harus selalu diarahkan pada usaha pengembangan potensi individu, sehingga manusia tersebut sampai dapat memahami dan mengetahui jati diri dan tanggung jawabnya sebagai mahluk hidup.
Bagian terpenting dalam diri manusia adalah akal. Karena dengan akal inilah menjadikan manusia berbeda dengan mahluk yang lain. Kreatifitas manusia tidak akan pernah lahir apabila tidak memiliki akal.  Adanya akal menyebabkan manusia mengalami perubahan dan kemajuan didalam hidupnya. Mahluk selain manusia cara hidupnya selalu tetap, statis, dan tidak mengalami perubahan atau kemajuan. Sekedar contoh, cara hidupnya burung dimana seribu tahun yang lalu hingga burung saat ini selalu mencari makan dipagi hari dan pulang setelah senja tiba, mereka tidak pernah berfikir membuat lumbung atau bercocok tanam dengan model pertanian modern. Hal ini disebabkan mereka tidak dilengkapi dengan akal. Oleh karenanya ketajaman akal harus selalu diasah melalui pendidikan. Mengenai akal M.Quraish Shihab telah menjelaskan sebagai berikut:
1.     Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu. (QS.29: 43)
2.     Dorongan moral. (QS.6: 51)
3.     Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah. (QS.67: 10)
Daya menggabungkan kedua diatas, sehingga ia mengandung daya memahami, daya menganalisis, dan menyimpulkan serta dorongan moral yang disertai dengan kematangan berfikir.[37][37]          
Dengan demikian pendidikan tidak boleh lepas dari pencerahan akal secara komprehensif. Artinya pendidikan tidak cukup hanya dimaksudkan untuk pencerahan otak semata akan tetapi harus diarahkan pada penegakan keadilan, demokratisasi dan berpihak pada kepentingan publik bahkan meningkatkan pertumbuhan nilai-nilai spiritualitas dan religiusitas.
F.      Kesimpulan
Pendidikan merupakan bimbingan secara sadar oleh seseorang (pendidik) kepada seseorang (anak didik) agar ia berkembang secara maksimal baik jasmani maupun rohani sehingga ia dapat memenuhi tugas hidup dan tanggung jawabnya sebagai manusia. Usaha itu banyak macamnya. Satu di antaranya ialah dengan cara mengajarnya, yaitu mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya, memberikan contoh (teladan) agar ditiru, memberikan pujian dan hadiah, mendidik dengan cara membiasakan dan lain-lain yang tidak terbatas jumlahnya.
Bertitik tolak dari beberapa teori tentang pendidikan, dapat ditemukan titik temunya yaitu apabila pendidikan dilihat sebagai proses. Dengan proses itu pendidikan secara sengaja menimbulkan dan mengembangkan potensi bawaan terdidik dan melalui proses pula pendidikan mewariskan nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat kepada si terdidik sesuai lingkungannya.
Pendidikan dalam perpektif al-Qur’an atau pendidikan Islam merupakan bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Bila disingkat, bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi Muslim semaksimal mungkin. Adapun tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya orang yang berkepribadian Muslim.
G.    Daftar Pustaka
1.      A.Malik Fajar,Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Surabaya: PT. Dunia,1999),
2.      Abdul Fattah Jalal,  Asas-Asas Pendidikan Islam, dalam Herry Noer Ally (Terj), (Bandung: Diponegoro, 1988),
3.      Ahmad D. Marimba, Pengantar filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1989),
4.      Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992),
5.      Al-Attas, Syed Muhammad al- Naquib, Aims and Objectives of Islamic Education, (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979),
6.      Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Al-Firdaus, 1989),
7.      Ali Khalil ‘Aynayni,  Filsafat at-Trabiyyah al-Islamiyyah fi al-Qur’an al-Karym, (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi),

8.      Departemen Agama RI, A-Qur’an dan Terjemahnya surat ash-Shaffaat, (Yayasan penyelenggaraan penterjemah Al-Qur’an 1984-1985),
9.      Du Bios, Nelson F. (et al), Educational Psychology and Instuctional Decisiona, (Homewood, Illions: The Dorsey Press, 1979),
10.  Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Husna, 1987),
11.  Joe Park, Selected Reading in the Philosophy of Education, (New York: The Macmillan Company, 1960),
12.  M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta: Mizan, 1996),
13.  Mimbar Pendidikan, Nomor 1 IKIP Bandung (sekarang UPI Bandung), 1974.
14.  Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Terj) Bustani A Gani, Djohar Bary, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974),
15.  Muhammad Munir Mursi,  at-Tarbiyyah al-Islamiyyah Usuluha wa Tatuwwuruha fi Bilad al-Arabiyyat, (Qhariah: Alam al-Qutub, 1977),
16.  Muhammad Munir Mursi,  at-Tarbiyyah al-Islamiyyah Usuluha wa Tatuwwuruha fi Bilad al-Arabiyyat,
17.  Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Panctisila, (Surabaya : Usaha Nasional, 1986),
18.  Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, (terj) Slaman Harun, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1988),
19.  Rupert C. Lodge, Philosophy Of Education, (New York: Harer and Brothers, 1974),
20.  Syekh Muhammad al-Naquib, Aims of Objectives of Islamic Education, (Jeddah; King Abdul Aziz University, 1979),


[1][1] Ahmad D. Marimba, Pengantar filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1989), hal. 31.
[2][2] Al-Attas, Syed Muhammad al- Naquib, Aims and Objectives of Islamic Education, (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), hal. 30
[3][3] Ahmad D. Marimba, Pengantar filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1989), hal. 19.
[4][4] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Husna, 1987), hal.  89
[5][5] Rupert C. Lodge, Philosophy Of Education, (New York: Harer and Brothers, 1974), hal. 23.
[6][6] Joe Park, Selected Reading in the Philosophy of Education, (New York: The Macmillan Company, 1960), hal. 3.
[7][7] Ibid., hal. 253.
[8][8] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992), hal. 25.
[9][9] Mimbar Pendidikan, Nomor 1 IKIP Bandung (sekarang UPI Bandung), 1974.
[10][10] Al-Attas, Syed Muhammad al- Naquib, Aims and Objectives of Islamic Education, hal. 157.
[11][11] Ibid, hal. 56.
[12][12] Ibid, hal. 60
[13][13] Ibid., hal. 62 - 63
[14][14] Ahmad D. Marimba, Pengantar filsafat Pendidikan Islam, hal. 31-33.
[15][15] QS. Al-Baqaarah 30-34.
[16][16] Abdul Fattah Jalal,  Asas-Asas Pendidikan Islam, dalam Herry Noer Ally (Terj), (Bandung: Diponegoro, 1988), hal. 27
[17][17] Ibid, hal. 27
[18][18] Ibid., hal. 28
[19][19] Ibid., hal. 29-32.
[20][20] Du Bios, Nelson F. (et al), Educational Psychology and Instuctional Decisiona, (Homewood, Illions: The Dorsey Press, 1979), hal. 14
[21][21] Syekh Muhammad al-Naquib, Aims of Objectives of Islamic Education, (Jeddah; King Abdul Aziz University, 1979), hal. 1.
[22][22] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1964), hal. 39.
[23][23] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Terj) Bustani A Gani, Djohar Bary, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 15.
23 Muhammad Munir Mursi,  at-Tarbiyyah al-Islamiyyah Usuluha wa Tatuwwuruha fi Bilad al-Arabiyyat, (Qhariah: Alam al-Qutub, 1977), hal.18.
[24][24] Abdul Fattah Jalal,  Asas-Asas Pendidikan Islam, dalam Herry Noer Ally (Terj), hal. 119
[25][25] Ibid., hal. 123-124.
[26][26] Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, (terj) Slaman Harun, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1988), hal. 17.
[27][27] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Al-Firdaus, 1989), hal. 2.
[28][28] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Terj) Bustani A Gani, Djohar Bary, hal. 15-18.
[29][29] Muhammad Munir Mursi,  at-Tarbiyyah al-Islamiyyah Usuluha wa Tatuwwuruha fi Bilad al-Arabiyyat,hal. 17.
[30][30] Ibid., hal. 18-19.
[31][31] Ali Khalil ‘Aynayni,  Filsafat at-Trabiyyah al-Islamiyyah fi al-Qur’an al-Karym, (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi), hal. 153217.
[32][32] Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Panctisila, (Surabaya : Usaha Nasional, 1986), hal. 133.
31 QS.95:4 dan QS.3:10
[33][33] QS.25:29
[34][34] A.Malik Fajar,Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Surabaya: PT. Dunia,1999), hal.,33
[35][35] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, hal.18
[36][36] Ibid., hal. 21-22.
[37][37] M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta: Mizan, 1996), hal., 294-295

Tinggalkan pesan anda


Online form powered by 123ContactForm.com | Report abuse

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons