BAB I
PENDAHULUAN
Secara sederhana, pendidikan Islam
dapat difahami sebagai suatu usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah
manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia
seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam. M. Arifin menuliskan bahwa
hakikat pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa Muslim yang bertakwa secara
sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah (kemampuan
dasar) peserta didik melalui ajaran islam kearah titik maksimal pertumbuhan dan
perkembangannya. Pendidikan secara teoritis mengandung pengertian memberi makan
jiwa peserta didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering
diartikan dengan menumbuhkan kemampuan dasar manusia.
Dalam dunia pendidikan ada beberapa
pandangan yang berkembang berkaitan dengan peserta didik. Ada yang
mendefenisikan peserta didik sebagai manusia belum dewasa, dan karenanya ia
membutuhkan pengajaran, latihan, dan bimbingan dari orang dewasa atau pendidik
untuk mengantarkannya menuju pada kedewasaan. Ada pula yang berpendapat bahwa
peserta didik adalah manusia yang memiliki fitrah atau potensi untuk
mengembangkan diri. Fitrah atau potensi tersebut mencakup akal, hati, dan jiwa
yang mana kala diberdayakan secara baik akan menghantarkan seseorang bertauhid kepada
Allah Swt. Kemudian, adapula yang berpendapat bahwa peserta didik adalah setiap
manusia yang menerima pengaruh positif dari orang dewasa atau pendidik. Dalam
arti teknis, bahkan ada yang menyatakan bahwa peserta didik adalah setiap anak
yang belajar disekolah atau lembaga-lembaga pendidikan formal.
Peserta didik, ia tidak hanya
sekedar objek pendidikan, tetapi pada saat-saat tertentu ia akan menjadi subjek
pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa posisi peserta didik pun tidak hanya
sekedar pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima air kapan dan
dimanapun. Akan tetapi peserta didik harus aktif, kreatif dan dinamis dalam
berinteraksi dengan gurunya, sekaligus dalam upaya pengembangan keilmuannya.
Eksistensi peserta didik sebagai
salah satu sub sistem pendidikan Islam sangatlah menentukan. Karena tidak
mungkin pelaksanaan pendidikan Islam tidak bersentuhan dengan individu-individu
yang berkedudukan sebagai peserta didik. Pendidik tidak mempunyai arti apa-apa
tanpa kehadiran peserta didik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peserta
didik adalah kunci yang menentukan terjadinya interaksi edukatif, yang pada
gilirannya sangat menentukan kualitas pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peserta Didik
Dalam usaha mendefenisikan istilah
peserta didik, terlebih dahulu perlu dipahami beberapa sebutan lain dalam
Bahasa Indonesia, yaitu istilah murid, dan peserta didik. Istilah murid
dipahami sebagai orang yang sedang belajar, menyucikan diri, dan sedang
berjalan menuju Tuhan. Peserta didik dipahami sebagai pendidik menyayangi murid
sebagaimana anaknya sendiri dan dalam hal ini faktor kasih sayang pendidik
terhadap peserta didik dianggap kunci keberhasilan pendidikan. Adapun istilah
peserta didik adalah sebutan yang paling mutakhir, istilah ini menekankan
pentingnya peserta didik berpartisipasi dalam proses pembelajaran.[1] Dengan
demikian, menurut Ahmad Tafsir yang dikutip oleh Zainuddin et.al perubahan
sebutan dari murid ke peserta didik lalu menjadi peserta didik, bermaksud
memberikan perubahan pada peran peserta didik dalam proses belajar mengajar.[2]
Pendidikan umum, mengartikan peserta
didik sebagai raw input (masukan mentah) dalam proses trnsformasi yang disebut
dengan pendidikan (Muri Yusuf,1982:37). Lebih jauh dijelaskan bahwa peserta didik
adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun
psikologis (Muhaimin dan Abdul Mujib,1993:177), untuk mencapai tujuan
pendidikan melalui lembaga pendidikan.
Pertumbuhan adalah perubahan yang
terjadi dalam diri peserta didik secara alami yang ditandai oleh pertumbuhan
tubuh menjadi bertambah besar. Adapun perkembangan adalah yang menyangkut
jasmaniyah dan ruhaniah (Muri Yusuf:37). Dengan adanya pertumbuhan dan
perkembangan yang masih berjalan, maka peserta didik dianggap belum dewasa
hingga membutuhkan bimbingan orang lain untuk menjadikannya dewasa (Abdul
Mujib: 177). Sebab pendewasaan merupakan tujuan dari pendidikan. Bimbingan
dapat diberikan dalam berbagai lingkungan pendidikan, yakni lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat (Abdul Mujib:25).
Menurut George R. Knight ,
sebagaimana dikuti oleh Abd. Rahman Assegaf dalam bukunya yang berjudul
Filsafat Pendidikan Islam, siswa atau peserta didik dipandang sebagai anak yang
aktif, bukan pasif yang hanya menanti guru untuk memenuhi otaknya dengan
berbagai informasi.Siswa adalah anak yang dinamis yang secara alami ingin
belajar, dan akan belajar apabila mereka tidak merasa putus asa dalam
pelajarannya yang diterima dari orang yang berwenang atau dewasa yang
memaksakan kehendak dan tujuannya kepada mereka. Dalam hal ini, Dewey
menyebutkan bahwa anak itu sudah memiliki potensi aktif. Membicarakan
pendidikan berarti membicarakan keterkaitan aktivitasnya, dan pemberian
bimbingan padanya.[3]
Peserta didik merupakan sasaran
(obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami
hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang
ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki
lima ciri, yaitu:
- Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan , kemauan dan sebagainya.
- Mempunyai keinginan untuk berkembang kearah dewasa
- Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda
- Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu[4]
Literatur pendidikan terkni
menuliskan bahwa sebutan anak didik telah berubah menjadi peserta didik. Hal
ini dikarenakan adanya pandangan pencerahan bahwa peserta didik pada setiap
proses interaksi dan komunikasi terhadap sumber, dan bersifat sebagai objek
juga sebagai subjek. Ketika potensi anak masih minimal dan membutuhkan
pertolongan manusia dewasa, maka sebutan yang lebih tepat adalah peserta didik
(objek) yang aktif. Akan tetapi, ketika ia telah merespons setiap stimulus yang
datang dengan motivasi yang telah terbangun, ia pun aktif secara fisik dan
mental mencari, merespon bahkan menemukan sendiri informasi yang diinginkannya,
maka sebutan baginya adalah peserta didik (subjek) yang aktif.
Defenisi lain dalam khazanah
pendidikan Islam klasik, al-Subkiy menggunakan term thalib (jamak : thalabat
atau thullab), mutafaqqih (jamak : mutafaqqihun), faqih (jamak : fuqaha) dan
tilmizd (jamak : talamizd) untuk menunjukkan pada penuntut ilmu (pelajar) pada
madrasah Nizhamiyah. Imam al-Haramayn disebut-sebut pernah memakai perkataan
faqih untuk menyapa murid-muridnya. Mengenai hal ini, al-Subkiy melukiskan
dengan indah sebuah dialog singkat yang terjadi antara al-Juwayni dan murid kesayangannya,
al-Ghazali, dalam bukunya berjudul thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra.[5]
Term faqih dalam dialog dibuku
tersebut menunjuk kepada al-Ghazali yang dimaksud dengan faqih adalah orang
yang mempelajari ilmu fiqih dan istilah ini identik dengan istilah mutafaqqih.
Sementara istilah thalib (penuntut ilmu) biasa dipakai untuk orang yang belajar
ilmu agama atau ilmu umum sebab kedua-duanya disuruh dalam agama. Bedanya kalau
yang pertama hukumnya menjadi kewajiban bagi setiap muslim (fardhu ‘ain), maka
yang kedua hukumnya menjadi kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Sedangkan
istilah tilmidz (murid) berasal dari akar kata talammaza artinya belajar, bisa
dua-duanya, agama maupun umum.
Berbeda dengan al-Juwayni,
al-Ghazali memakai term thalib ketika menyebut murid-muridnya di madrasah
Nizhamiyah Baghdad. Beliau menjelaskan bahwa orang yang mempelajari ilmu kalam,
kebathinan, filsafat dan sufi disebut thalib. Dari keterangan al-Ghazali ini
dapat dipahami bahwa wacana ilmiah dan kegiatan studi murid-murid madrasah
Nizhamiyah Baghdad dibawah asuhannya meliputi semua ilmu tersebut.[6]
Secara umum dalam pendidikan Islam
pada hakikatnya Allah Swt. Merupakan murabbi, mu’allim atau mu’addib, yang
diistilahkan dengan pendidik. Dialah yang mencipta dan memelihara (mendidik)
seluruh makhluk didunia ini termasuk manusia, baik dalam artian tarbiyah,
ta’alim, maupun ta’dib. Dengan demikian, dalam perspektif falsafah pendidikan
Islam seluruh makhluk ciptaan Allah Swt merupakan peserta didik. Namun secara
khusus dalam pendidikan Islam, peserta didik adalah seluruh al insan, al-basyar
atau bani adam yang sedang menuju al-insan al-kamil, baik dalam pengertian
jismiyah maupun ruhiyah.
B. Esensi Peserta Didik dalam
Perspektif Falsafah Pendidikan Islami
Dalam pandangan pendidikan Islam,
untuk mengetahui hakikat peserta didik, tidak dapat dilepaskan hubungannya
dengan pembahasan tentang hakikat manusia, karena manusia hasil dari suatu
proses pendidikan. (Abdurrahman Shaleh,1990:45). Menurut konsep ajaran Islam
manusia pada hakikatnya, adalah makhluk ciptaan Allah yang secara biologis
diciptakan melalui proses pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung secara
evolutif, yaitu melalui proses yang bertahap. Sebagai makhluk ciptaan, manusia
memiliki bentuk yang lebih baik, lebih indah dan lebih sempurna dibandingkan
makhluk lain ciptaan Allah, hingga manusia dinilai sebagai makhluk lebih mulia,
sisi lain manusia merupakan makhluk yang mampu mendidik, dapat dididik, karena
manusia dianugerahi sejumlah potensi yang dapat dikembangkan. Itulah antara
lain gambaran tentang pandangan Islam mengenai hakikat manusia, yang dijadikan
acuan pandangan mengenai hakikat peserta didik dalam pendidikan Islam. Peserta
didik dalam pendidikan Islam harus memperoleh perlakuan yang selaras dengan
hakikat yang disandangnya sebagai makhluk Allah. Dengan demikian, sistem
pendidikan Islam peserta didik tidak hanya sebatas pada obyek pendidikan,
melainkan pula sekaligus sebagai subyek pendidikan.[7]
Dalam perspektif falsafah pendidikan
Islami, semua makhluk pada dasarnya adalah peserta didik. Sebab, dalam Islam,
sebagai murabbi, mu’allim, atau muaddib, Allah Swt pada hakikatnya adalah
pendidik bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya. Dialah yang mencipta dan memelihara
seluruh makhluk. Pemeliharaan Allah Swt mencakup sekaligus kependidikan-Nya,
baik dalam arti tarbiyah, ta’alim, maupun ta’adib. Karenanya, dalam perspektif
falsafah pendidikan Islam, peserta didik itu mencakup seluruh makhluk Allah
Swt, seperti malaikat, jin, manusia, tumbuhan, hewan, dan sebagainya.[8]
Namun, dalam arti khusus dalam
perspektif falsafah pendidikan Islami peserta didik adalah seluruh al-insan,
al-basyar, atau bany adam yang sedang berada dalam proses perkembangan menuju
kepada kesempurnaan atau suatu kondisi yang dipandang sempurna (al-Insan
al-Kamil). Terma al-Insan, al-basyar, atau bany adam dalam defenisi ini memberi
makna bahwa kedirian peserta didik itu tersusun dari unsur-unsur jasmani,
ruhani, dan memiliki kesamaan universal, yakni sebagai makhluk yang diturunkan
atau dikembangbiakan dari Adam a.s. kemudian, terma perkembangan dalam
pengertian ini berkaitan dengan proses mengarahkan kedirian peserta didik, baik
dari fisik (jismiyah) maupun diri psikhis (ruhiyah) – aql, nafs, qalb – agar
mampu menjalankan fungsi-fungsinya secara sempurna. Misalnya, ketika
dilahirkan, fisik manusia dalam keadaan lemah dan belum mampu mengambil atau
memegang benda dan kaki belum mampu melangkah atau berjalan.
Demikian benda dan kaki belum mampu
melangkah atau berjalan. Demikian juga, ketika dilahirkan dari rahim ibunya,
‘aql manusia belum dapat difungsikan untuk menalar baik buruk atau benar salah.
Melalui proses ta’lim, tarbiyah, atau ta’dib, secara bertahap, ‘aql manusia
diasah, dilatih, dan dibimbing melakukan penalaran yang logis atau rasional,
sehingga ia mampu menyimpulkan baik-buruk atau benar-salah. Demikiah juga nafs,
ketika manusia dilahirkan dari rahim Ibunya, ia hanya cenderung pada pemenuhan
kehendak atau kebutuhan jismiyah, terutama makan-minum. Melalui proses ta’lim,
tarbiyah atau ta’dib, nafs manusia dilatih dan dibimbing untuk melakukan
pengendalian, pemeliharaan, dan pensucian diri. Akan halnya qalb, ketika
manusia dilahirkan dari rahim ibunya, ia hanya potensi laten yang belum mampu
menangkap cahaya (al-nur) dan memahami kebenaran (al-haqq). Kemudian, melalui
proses ta’lim, tarbiyah atau ta’dib, qalb manusia dibimbing sehingga mampu
menangkap cahaya (al-nur) dan memahami kebenaran (al-haqq) serta hidup sesuai
dengan cahaya dan kebenaran tersebut.
Dalam pengertian di atas, yang
dimaksud dengan kesempurnaan adalah suatu keadaan dimana dimensi jismiyah dan
ruhiyah peserta didik, melalui proses ta-lim, tarbiyah, atau ta’dib, diarahkan
secara bertahap dan berkesinambungan untuk mencapai tingkatan terbaik dalam
kemampuan mengaktualisasikan seluruh daya atau kekuatannya (quwwah al-jismiyah
wa al-ruhiyah). Dalam perspektif ini, secara sederhana, kesempurnaan dimensi
jismiyah adalah suatu kondisi dimana seluruh unsur atau anggota jasmani manusia
mencapai tingkatan terbaik dalam kemampuannya melakukan tugas-tugas
fisikal-biologis, seperti bergerak, berpindah dan melakukan berbagai aktivitas
fisikal lainnya. Demikian pula halnya dengan kesempurnaan dimensi ruhiyah.
Dalam makna ini, ‘aql, nafs, dan qalb peserta didik mencapai tingkatan terbaik
dalam berpikir atau menalar (al-‘aql al-mustasyfad), dalam mengendalikan dan
mensucikan diri (al-nafs al-muthmainnah), dan dalam menangkap cahaya dan
memahami kebenaran (qalb al-salim).[9]
Berdasarkan pengertian di atas,
dalam perspektif falsafah pendidikan Islami, pada hakikatnya semua manusia
adalah peserta didik. Sebab, pada hakikatnya, semua manusia adalah makhluk yang
senantiasa berada dalam proses perkembangan menuju kesempurnaan, atau suatu tingkatan
yang dipandang sempurna, dan proses itu berlangsung sepanjang hayat. [10]
Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Al-Rasyidin yang dikuti oleh Zainuddin et.al dalam bukunya Filsafat Pendidikan
Islam, setidaknya ada 3 istilah peserta didik yang dapat dirangkum dalam esensi
filsafat pendidikan Islam.
Ketiga istilah tersebut yaitu
pertama, term mengandung pengertian bahwa peserta didik dalam arti mutarabbi
manusia yang selalu memerlukan pendidikan, baik dalam arti pengasuhan dan
pemeliharaan fisik – biologis, penambahan pengetahuan dan keterampilan,
tuntunan dan pemeliharaan diri, serta pembimbingan jiwa. Dengan demikian,
mutarabbi mampu melaksanakan fungsi dan tugas penciptaan Allah Swt. Tuhan maha
pencipta, pemelihara dan pendidik bagi alam semesta. Kedua, muta’allim, peserta
didik mempelajari semua al-asma’kullah yang terdapat pada ayat-ayat kauniyah
maupun quraniyah dalam rangka pencapaian pengenalan, peneguhan dan aktualisasi
syahadah primordial yang telah pernah ia ikrarkan di hadapan Allah Swt. Kemampuan
peserta didik merealisasikan terhadap apa yang pernah ia nyatakan ini merupakan
essensi dari peserta didik itu sendiri dalam filsafat pendidikan Islam. Ketiga,
muta’addib, merupakan proses pendisiplinan adab ke dalam jism, dan ruhnya,
sehingga akal, ruh dan hatinya pendisiplinan adab melalui mua’dib (pendidik).
Esensinya dalam mutaadib dalam pendisiplinan adab adalah ahklak, yaitu syariat
yang menata hubungan komunikasi antara manusia dengan dirinya sendiri,
sesamanya dan mahkluk Allah lainnya termasuk dalam semesta ini serta juga
kepada sang pencipta dan pemelihara serta pendidik alam semesta.
Dalam buku Filsafat pendidikan Islam
yang ditulis oleh Hasan Basri,dalam perspektif filsafat pendidikan Islam,
hakikat peserta didik terdiri dari beberapa macam :
- Peserta didik adalah darah daging sendiri, orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya maka semua keturunannya menjadi anak didiknya di dalam keluarga.
- Peserta didik adalah semua anak yang berada di bawah bimbingan pendidik di lembaga pendidikan formal maupun non formal, seperti disekolah, pondok pesantren, tempat pelatihan, sekolah keterampilan, tempat pengajian anak-anak seperti TPA, majelis taklim, dan sejenis, bahwa peserta pengajian di masyarakat yang dilaksanakan seminggu sekali atau sebulan sekali, semuanya orang-orang yang menimba ilmu yang dapat dipandang sebagai anak didik
- Peserta didik secara khusus adalah orang –orang yang belajar di lembaga pendidikan tertentu yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran dan berbagai hal yang berkaitan dengan proses kependidikan.
Beberapa hal yang terkait dengan
hakekat peserta didik yaitu[11] :
- Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri.
- Peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan
- serta tempo dan iramanya, yang harus disesuiakan dalam proses pendidikan.
- Peserta didik memiliki kebutuhan diantaranya kebutuhan biologis, rasa aman, rasa kasih sayang, rasa harga diri dan realisasi diri.
- Peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang disebabkan dari faktor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat dan lingkungan yang mempengaruhinya.
- Peserta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia, walaupun terdiri dari banyak segi tetapi merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa).
- Peserta didik merupakan obyek pendidikan yang aktif dan kreatif serta produktif. Anak didik bukanlah sebagai objek pasif yang biasanya hanya menerima, mendengarkan saja (Abdul Mujib dan Muhaimin, 1993 : 177-181)
C. Potensi/Fitrah Peserta Didik
Manusia merupakan makhluk Allah yang
paling mulia dan sempurna (melebihi malaikat) apabila dapat memerankan tugas
kekhalifahannya. Namun jika manusia tidak dapat bertanggungjawab sebagai
khalifah Allah dengan baik dan benar, maka kedudukan manusia lebih rendah dari
binatang.
Karena itu, agar dapat menjalankan
fungsi kekhalifahanya dimuka bumi, manusia di karuniai beberapa kekuatan yang
dapat menimbulkan kreativitas untuk menata alam melalui ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dimilikinya. Untuk itu, Tuhan menganugerahkan kepada manusia
potensi-potensi[12] (fithrah) yang dapat dikembangkan melalui proses
pendidikan.[13]
Manusia diciptakan Allah bukan tanpa
latar belakang dan tujuan. Hal ini tergambar dalam dialog Allah dan malaikat
diawal penciptaannya. Tujuan penciptaan Adam sebagai nenek moyang manusia adalah
sebagai khalifah. Dalam kedudukan ini, manusia tidak mungkin mampu melaksanakan
tugas kekhalifahannya, tanpa dibelakangi dengan potensi yang memungkinkan
dirinya mengemban tugas tersebut.
Muhammad Bin Asyur sebagamana
disitir M. Quraish Shihab mendefinisikan fitrah manusia kepada pengertian
“fitrah (makhluk) adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap
makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang
diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan jasmani dan
akalnya”. Dari pengertian tersebut dapat diartiakan bahwa fitrah merupakan
potensi yang diberikan Allah kepada manusia sehingga manusia mampu melaksanakan
amanat yang diberiakan Allah kepadanya yang meliputi potensi seluruh dimensi
manusia.
Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya
“setiap anak manusia itu terlahir dalam fitrahnya, kedua orang tuanyalah yang
akan mewarnai (anak) nya, apakah menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau
majusi” (HR Aswad Bin Sari).
Dari makna hadis diatas memberikan
pengertian secara teoritis bahwa semakin baik penempatan fitrah yang dimiliki
manusia, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya,
semakin buruk penempatan fitrah seseorang maka akan semakin buruk sifat dan
tingkah lakunya. Namun demikian, pendekatan tersebut hanya sebatas teoritis
manusia, sedangkan dosa balik itu dalam islam ada kemungkinan lain, yaitu
hidayah dari Allah SWT sebagai penentu yang Maha final.[14]
Dalam perspektif Islam, potensi atau
fitrah dapat dipahami sebagai kemampuan atau hidayah yang bersifat umum dan
khusus yaitu :
- Hidayah wujdaniyah yaitu potensi manusia yang berwujud insting atau naluri yang melekat dan langsung berfungsi pada saat manusia dilahirkan di muka bumi.
- Hidayah hisysyiyah yaitu potensi Allah yang diberikan kepada manusia dalam bentuk kemampuan
- indrawi sebagai penyempurnaan hidayah wujudiyah.
- Hidayah aqliah yaitu potensi akal sebagai penyempurnaan dari kedua hidayah di atas. Dengan potensi akal ini mampu berpikir dan berkreasi menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kepadanya untuk fungsi kekhalifahannya.
- Hidayah diniyah yaitu petunjuk agama yang diberikan kepada manusia yang berupa keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keyakinan dan aturan perbuatan yang tertulis dalam al-Qur’an dan Sunnah
- Hidayah taufiqiyah yaitu hidayah yang sifatnya khusus. Sekalipun agama telah diturunkan untuk keselamatan manusia, tetapi banyak manusia yang tidak menggunakan akal dalam kendali agama. Untuk itu, agama menuntut agar manusia senantiasa berupaya memperoleh dan diberi petunjuk yang lurus berupa hidayah dan taufiq guna selalu berada dalam keridhaan Allah.[15]
Quraish Shihab berpendapat bahwa
menyukseskan tugas-tugas kekhalifan di muka bumi, Allah memperlengkapi manusia
dengan potensi-potensi tertentu, antara lain :
- Kemampuan untuk mengetahui sifat-sifat, fungsi dan kegunaan segala macam benda. Hal ini tergambar dalam firman Allah SWT : “Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya.” (QS. 2 :31)
- Ditundukkan bumi, langit dan segala isinya, binatang-binatang, planet dan sebagainya olah Allah kepada manusia (QS. 45: 12-13)
- Potensi akal fikiran serta panca indera (QS. 67:23)
- Kekuatan positif untuk merubah corak kehidupan manusia (QS. 13:11)
Disamping potensi yang bersifat di
atas, manusia dilengkapi dengan potensi yang bersifat
Disamping potensi yang bersifat di
atas, manusia dilengkapi dengan potensi yang bersifat negatif yang merupakan
kelemahan manusia, yaitu : pertama, potensi untuk terjerumus dalam godaan hawa,
nafsu dan syetan. Hal ini digambarkan dengan upaya syetan menggoda Adam dan
Hawa, sehingga keduanya melupakan peringatan Tuhan untuk tidak mendekati pohon
terlarang (QS. 20 : 15-24). Kedua, banyak masalah yang tak dapat dijangkau oleh
pikiran manusia, khususnya menyangkut diri, masa depan, dan banyak hal lain
yang menyangkut kehidupan manusia.
Dalam pandangan lain, Hasan
Langulung memandang bahwa pada prinsipnya potensi manusia menurut pandangan
Islam tersimpul pada sifat-sifat Allah (asma’ul husna). Sebagai contoh sifat
al-ilmu yang dimiliki Allah, maka manusiapun memiliki tersebut. Dengan sifat
al- ilmu, manusia senantiasa berupaya untuk mengetahui sesuatu. Untuk
mengaktiftkan potensi ini, maka Allah menjadikan alam dan isinya termasuk diri
manusia sebagai ayat Allah yang harus dibaca dan dianalisa. Namun demikian,
bukan berarti kemampuan manusia sama tingkatannya dengan kemampuan Allah. Hal
ini disebabkan karena perbedaan hakekat keduanya. Manusia memiliki keterbatasan,
sedangkan Allah tanpa batas. Dari keterbatasan tersebut, menjadikan manusia
sebagai makhluk yang memerlukan bantuan untuk memenuhi keinginannya. Keadaan
ini menyadarkan manusia akan keterbatasan-nya dan ke-Mahakuasaan Allah. Dengan
potensi ini, manusia dituntut untuk senantiasa memiliki jalinan rohani kepada
Allah, baik memiliki zikir atau aktivitas zikir lainnya, mengingat manusia
adalah ciptaan Allah yang dependen pada yang Maha Pencipta.[16]
Karena adanya potensi yang positif
dan negatif serta keterbatasan manusia, maka Allah menganugerahkan kepada
manusia berbagai potensi pada manusia agar ia mampu mengetahui hakekat dan
petunjuk-petunjuk Allah. Firman Allah SWT :
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama Allah tetaplah atas fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Pengertian fitrah yang ditunjukkan
ayat di atas memberi pengertian bahwa manusia ciptaan Allah dengan naluri
beragama tauhid yaitu Islam. Namun dalam pengembangan selanjutnya, Hasan
Langulung memberi pengertian fitrah yang lebih luas yaitu pada pengertian dasar
yang dimiliki oleh setiap manusia. Potensi tersebut merupakan embrio semua
kemampuan manusia yang memerlukan penempaan lebih lanjut dan lingkungan insani
maupun non insani untuk bisa berkembang. Untuk mengaktualisasikan potensi yang
dimilikinya tersebut, manusia memerlukan bantuan orang lain yaitu proses
pendidikan.[17]
D. Tugas dan Tanggungjawab Peserta
Didik
Tujuan dari setiap proses
pembelajaran adalah menta’lim, mentarbiyah, atau menta’dibkan al-‘ilm ke dalam
diri setiap peserta didik. Al-‘ilm yang akan dita’-lim, ditarbiyah, atau
dita’dibkan tersebut adalah al-haqq, yaitu semua kebenaran yang datang dan
bersumber dari Allah Swt, baik yang didatangkan-Nya melalui Nabi dan Rasul,
(al-ayah al-quraniyah), maupun yang dihamparkan-Nya pada seluruh alam semesta,
termasuk diri manusia itu sendiri (al-ayah al-kauniyah). Al-‘ilm tersebut
merupakan penunjuk jalan bagi peserta didik untuk mengenali dan meneguhkan
kembali syahadah primordialnya terhadap Allah Swt sehingga ia mampu
mengaktualisasikannya dalam kehidupan keserharian. Karenanya, dalam konteks
ini, tugas utama setiap peserta didik adalah mempelajari al-‘ilm dan
mempraktikkan atau mengamalkannya sepanjang kehidupan.[18]
Berkenaan dengan tugas utama yang
harus dilakukan peserta didik ini, Rasulullah saw melalui salah satu hadis
menegaskan : menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimat.
Proses menuntut atau mempelajari al-‘ilm itu dapat dilakukan dengan berbagai
cara, seperti membaca, baik yang tersurat maupun yang tersirat, mengeksplorasi,
meneliti, dan mencermati fenomena diri, alam semesta, dan sejarah umat manusial
berkontemplasi, berpikir, atau menalar, berdialog, berdiskusi atau bermusyarah,
mencontoh atau meneladani, mendengarkan nasehat, bimbingan, pengajaran dan
peringatan, memetik ‘ibrah atau hikmah, melatih atau membiasakan diri, dan masih
banyak lagi aktivitas belajar lainnya yang harus dilakukan setiap peserta didik
untuk meraih al-ilm dan mengamalkannya dalam kehidupan.[19]
Seluruh aktivitas pembelajaran
sebagaimana dipaparkan di atas wajib ditempuh atau dilakukan peserta didik
dalam proses belajar atau menuntut al-‘ilm. Karenanya, peserta didik tidak
boleh mencukupkan aktivitas belajarnya pada suatu aktivitas saja. Dalam
berbagai surah, alquran senantiasa menyeru manusia untuk berpikir, mengingat,
membaca, mengambil pelajaran, memetik hikmah. Bereksplorasi, bertadabbur, dan
sebagainya. Semua itu dimaksudkan agar peserta didik mengembangkan potensi
jismiyah dan ruhiyahnya sehingga mampu diberdayakan dalam rangka aktualisasi
diri sebagai makhluk yang bersyahadah kepada Allah Swt, beribadah secara tulus
ikhlas hanya kepada-Nya, dan menjadi khalifah atau pemimpin dan pemakmur
kehidupan dibumi.[20]
Berkenaan dengan tanggung jawab,
dalam perspektif falsafah pendidikan Islami, tanggung jawab utama peserta didik
adalah memelihara agar semua potensi yang dianugerahkan Allah Swt kepadanya
dapat diberdayakan sebagaimana mestinya. Dimensi jismiyah wajib dipelihara,
agar secara fisikal peserta didik mampu melakukan aktivitas belajar, meskipun
harus melakukan rihlah ke berbagai tempat. Demikian pula, dimensi ruhiyah juga
wajib dipelihara, agar bisa difungsikan sebagai energi atau kekuatan untuk
melakukan aktivitas belajar. Ketika peserta didik tidak mampu memelihara
dimensi jismiyah dan ruhiyahnya, maka energi, daya, atau kemampuan
membelajarkan diri akan terganggu, bahkan bisa menjadi tidak mampu. Karenanya,
sebagaimana juga dikemukakan Nata, agar tetap mampu melakukan aktivitas
belajar, setiap peserta didik memerlukan kesiapan fisik prima, akal yang sehat,
pikiran yang jernih, dan jiwa yang tenang. Untuk itu, perlu adanya upaya
pemeliharaan dan perawatan secara sungguh-sungguh semua potensi yang bisa
digunakan untuk belajar atau menuntut ilmu pengetahuan.[21]
Athiyah al-Abrasyi mengemukakan
bahwa kewajiban-kewajiban yang harus senantiasa dilakukan peserta didik adalah
:
- Sebelum memulai aktivitas pembelajaran, peserta didik harus terlebih dahulu membersihkan hatinya dari sifat yang buruk, karena belajar mengajar itu merupakan ibadah dan ibadah harus dilakukan dengan hati yang bersih.
- Peserta didik belajar harus dengan maksud mengisi jiwanya dengan berbagai keutamaan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
- Bersedia mencari ilmu ke berbagai tempat yang jauh sekalipun, meskipun harus meninggalkan
- keluarga dan tanah air.
- Tidak terlalu sering menukar guru, dan hendaklah berpikir panjang sebelum menukar guru.
- Hendaklah menghormati guru, memuliakan dan mengangungkannya karena Allah serta berupaya menyenangkan hatinya dengan cara yang baik.
- Jangan merepotkan guru, jangan berjalan dihadapannya, jangan duduk ditempat duduknya, dan jangan mulai bicara sebelum diizinkan guru.
- Jangan membukakan rahasia kepada guru atau meminta guru membukakan rahasia, dan jangan pula menipunya.
- Bersungguh-sungguh dan tekun dalam belajar
- Saling bersaudara dan mencintai antara sesama peserta didik.
- Peserta didik harus terlebih dahulu memberi salam kepada guru dan mengurangi percakapan dihadapan gurunya.
- Peserta didik hendaknya senantiasa mengulangi pelajaran, baik diwaktu senja dan menjelang subuh atau diantara waktu Isya’ dan makan sahur
- Bertekad untuk belajar seumur hidup.[22]
E. Sifat-Sifat Peserta Didik
Sesuai dengan karakter dasarnya,
dalam Islam, ilmu itu datangnya dari al-haq dan karenanya ia merupakan al-nur
atau cahaya kebenaran yang akan menerangi kehidupan para pencarinya. Sebagai
al-haq, Allah Swt maha suci, dan kesuciannya hanya bisa dihampiri oleh yang
suci pula. Karenanya, sifat utama dan pertama yang harus dimiliki peserta didik
adalah mensucikan diri atau jiwanya (tazkiyah) sebelum menuntut ilmu
pengetahuan. Karena maksiat hanya akan mengotori jasmani, akal, jiwa dan hati
manusia, sehingga membuatnya sulit dan terhijab dari cahaya, kebenaran, atau
hidayah Allah Swt.
Setidaknya ada 3 hal yang menjadi
titik fokus perhatian peserta didik dan orang tua dalam mensucikan dirinya
secara totalitas. Pertama, suci ruhaniah yaitu peserta didik harus menjauhkan
sifat-sifat yang dapat merusakan atau paling tidak yang mengotori jiwa dari
sucinya al-nur, atau al-haq. Karena kekotoran jiwa akan mengakibat tertutupnya
sinar illahiyah menembus kalbu peserta didik. Ringkasnya al-‘ilm atau al-nur
harus di ta’lim, di tarbiyah atau dita’dibkan ke dalam jiwa peserta didik
haruslah dalam keadaan suci dan bersih, sehingga ia akan dapat tertanam dan
bersemi dengan penuh keberkahan di dalam sanubarinya. Kedua, suci jasmaniah
yaitu peserta didik harus mampu menjauhkan dari dari mengkonsumsi makanan
ataupun minuman yang tidak benar baik dari segi jenis mampu sumber diperolehnya
makanan/minuman tersebut. Makanan yang tidak benar/jelas, bukan makanan yang
diperoleh secara halal, akan mempengaruhi kepribadian peserta didik dalam
berperilaku, dan akan susah mendapatkan hidayah kebenaran dari Allah Swt.[23]
Sebab itu, orang tua harus memberi
makan peserta didik dengan makanan yang baik dan halal serta bersih, sehingga
nusrah Allah akan dapat dengan mudah diterima oleh peserta didik. Disamping itu
juga bersih badan dari kotoran, najis serta lainnya yang dapat menggangu
kesehatan fisik hidup yang baik. Jangan biasakan peserta didik bergaul dengan
lingkungan yang dapat memberi pengaruh yang tidak baik dalam perkembangan
kehidupan sosialnya.[24]
Hal ini akan berbias kepada
terkontaminasinya pembiasaan yang jelek kepada peserta didik. Makanya orang tau
harus dapat menjaga dan mengerti tentang ini, sehingga peserta didik dapat
tumbuh dan kembang baik secara ruhaniah, jasmaniah maupun sosialnya dengan
penuh kebaikan.[25]
Zainuddin dalam bukunya Filsafat
Pendidikan Islam, beliau mengutip hadis Shahih Muslim dan Bukhari dalam
mengemukakan sifat dan karakter yang dimiliki anak didik. Berikut beberapa
sifat dan karakter yang harus dimiliki seorang anak didik:
1) Memiliki sifat tamak dalam
menuntut ilmu dan tidak malu-malu. Mujahid berkata, “Pemalu dan orang sombong
tidak akan dapat mempelajari pengetahuan agama.” Aisyah berkata, “sebaik-baik
kaum wanita adalah kamu wanita sahabat Anshar. Merak tidak dihalang-halangi
rasa malu tidak dihalang-halangi rasa malu untuk mempelajari pengetahuan yang
mendalam tentang agama.”
2) Selalu mengulang pelajaran di
waktu malam dan tidak menyia-nyiakan waktu malam dan tidak
menyia-nyiakan waktu.
3) Memanfa’atkan/mengajarkan ilmu
pengetahuan yang telah dimiliki.
4) Memiliki keinginan/motivasi
mencari ilmu pengetahuan.[26]
Peserta didik hendaknya berupaya
memiliki akhlak mulia, baik secara vertikal maupun horizontal dan senantiasa
mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan seperangkat ilmu pengetahuan.
Sebagai seorang peserta didik yang berupaya mencari ilmu pengetahuan dan membentuk
sikap dengan akhlak mulia, maka menurut Hamka peserta didik dituntut bersikap
baik pada setiap guru.[27]
Sikap tersebut meliputi :
1) Jangan cepat putus asa dalam
menuntut ilmu
2) Jangan lalai dalam menuntut ilmu
dan cepat merasa puas terhadap ilmu yang sudah diperoleh;
3) Jangan merasa terhalang karena
faktor usia
4) Hendaklah diperbagus tulisannya
supaya orang bsia menikmati hasil karyanya dan membiasakan diri membuat catatan
kecil terhadap berbagai ide yang sedang dipikirkan;
5) Sabar, perteguh hati dan jangan
cepat bosan dalam menuntut ilmu
6) Pererat hubungan baik dengan guru
dan senantiasa hadir dalam majelis ilmiahnya, hormati pendidik sebagai orang
yang telah banyak berjasa dalam membimbing ke arah kedewasaan, baik ketika
proses belajar maupun setelah menamatkan pelajaran padanya
7) Ikuti instruksi guru dalam setiap
proses belajar mengajar dengan khusyu’ dan tekun
8) Berbuat baik terhadap guru dan
kedua orang tua, serta amalkan ilmu yang diberikannya bagi kemaslahatan seluruh
umat;
9) Jangan menjawab sesuatu yang
tidak berfaedah. Biasakan berkata sesuatu yang bermanfaat karena itu sebagai
ciri orang yang berilmu dan berfikiran luas;
10) Ciptakan suasana pendidikan yang
merespon dinamika fitrah yang dimiliki seperti suasana gembira;
11) Biasakan diri untuk melihat,
memikirkan dan melakukan analisa secara seksama terhadap fenomena alam semesta.
Dengan ini maka peserta didik akan menyelami kebesaran Allah dan selanjutnya
berbuat kebajikan terhadap alam semesta.[28]
F. Etika Peserta Didik
Sebagaimana dijelaskan oleh Asma
Fahmi, bahwa setiap peserta didik harus memiliki dan berprilaku dengan etika
yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti berikut ini :
1) Setiap peserta didik harus
membersihkan hatinya dari kotoran sebelum menuntut ilmu, yaitu menjauhkan dari
sifat-sifat yang tercela seperti dengki, benci, menghasud, takabur, menipu,
berbangga-bangga dan memuji diri serta menghiasi diri dengan akhlak mulia
seperti benar, takwa, ikhlas, zuhud, merendahkan diri dan ridha;
2) Hendaklah tujuan belajar itu
ditujukan untuk menghiasi ruh dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri dengan
Tuhan, dan bukan untuk bermegah-megah dan mencari kedudukan. Belajar dengan
niat ibadah dalam rangka taqarrub ilallalah. Konsekuensi dari sikap ini,
peserta didikkan senantiasa mensucikan diri dengan akhlaq al-karimah dalam
kehidupan sehari-harinya, serta berupaya meninggalkan watak dan akhlak yang
rendah (tercela).
3) Peserta didik tidak menganggap
rendah sedikitpun pengetahuan-pengetahuan apa saja karena ia tidak mengetahuinya,
tetapi ia harus mengambil bagian dari tiap-tiap ilmu yang pantas baginya, dan
tingkatan yang wajib baginya;
4) Peserta didik wajib menghormati
pendidiknya
5) Peserta didik hendaknya belajar
secara sungguh-sungguh serta tabah dalam belajar.[29]
Ibnu Qayyim sendiri menjelaskan ada
sebelas etika peserta didik , diantaranya;
- Jika peserta didik ingin meraih kesempurnaan ilmu, henadklah ia menjauhi kemaksiatan dan senantiasa menundukkan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan untuk dipandang
- Mewaspadai terhadap tempat-tempat yang menyebarkan lahwun (hidup kesia-siaan) dan majelis-majelis yang buruk’
- Bid’ah , sangat berbahaya bagi kebersihan hati.Hati yang telah tercemar noda bid’ah menjadi tidak mampu memahami Alquran, karena tidak bisa memahami Alquran kecuali hati yang suci.
- Senantiasa menjaga waktunya, dan jangan sekali-kali membuangnya dengan membicarakan hal-hal yang tidak berfaedah, berbohong, dan obrolan yang tidak jelas ujung pangkalnya. Dan janganlah sekali-kali mengatakan sesuatu yang tidak memiliki ilmu tentangnya
- Tidak berbicara kecuali ketika jika sudah jelas kebenarannya/ hakikatnya dan telah tampak masalah itu jelas baginya
- Menghindari diri membanggakan diri dengan harta, kedudukan dan kenikmatan dunia karena sangat dicela oleh syariat
- Hendaknya mengetahui bahwa hanya dengan ilmu derajat seseorang tidak bisa terangkat kecuali jika ilmu tersebut diamalkan
- Segera mengamalkan ilmu yang telah didapatinya agar selalu terjaga dan tidak mudah hilang
- Memiliki pemahaman yang baik dan niat yang lurus, supaya hatinya terjauhkan dari noda-noda bid’ah dan penyimpangan seseorabg
- Selalu mencari hakikat suatu masalah dan berusaha mendapatkannya dari mana saja sumbernya, sebagaimana wajib atasnya untuk tidak ta’ashshub (fanatic) kepada pendapat seseorang
- Jika peserta didik itu memiliki keutamaan dengan mendapat balasan dari Allah berupa dilapangkannya
- jalan menuju surge. Maka sepatutnya para peserta didik senantiasa mangingat pahala yang besar tersebut agar menjadi pendorong baginya untuk senantiasa giat mencari ilmu.[30]
Sedangkan kode etik personal peserta
didik yang harus dapat dilaksanakan oleh peserta didik yaitu :
- Membersihkan hati dari kotoran, sifat buruk, aqidah keliru, dan akhlak tercela.
- Meluruskan niat, peserta didik harus menuntut ilmu demi Allah untuk menghidupkan syari’at Islam, menyinari hati dan mengasah batin dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya. Dengan belajar itu ia bermaksud hendak mengisi jiwanya dengan fadhilah, mendekatkan diri kepada Allah, bukanlah bermaksud menonjolkan diri;
- Menghargai waktu dengan cara mencurahkan perhatian sepenuhnya bagi urusan menuntut ilmu pengetahuan;
- Menjaga kesederhanaan makanan dan pakaian. Mengurangi kecederungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral untuk melaksanakan amanat-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal;
- Membuat jadwal kegiatan yang ketat dan teratur. Peserta didik mengalokasikan waktu secara jelas kedalam satu jadwal kegiatan harian yang berisi kegiatan belajar yang relevan
- Menghindari makan terlalu banyak, yang terbaik adalah sedikit makan, selain makruh makan terlalu banyak juga akan menimbulkan malas dan kantuk bahkan serangan penyakit;
- Mengurangi konsumsi makanan yang bisa menyebabkan kebodohan dan lemahnya indera, seperti apel asam, kubis, atau cuka, juga kebanyakan lemak dapat menumpulkan otak dan menggemukan tubuh;
- Menimalkan waktu tidur, tetapi tidak mengganggu kesehatan. Penuntut ilmu tidak boleh tidur lebih dari delapan ham satu hari satu malam, sebab tidur hanya diperlukan dalam rangka istirahat serta menyegarkan kembali badan dan pikiran untuk kembali belajar.
- Membatasi pergaulan hanya dengan orang yang bisa bermanfaat bagi pelajar. Teman yang harus dicari ialah orang taat beragama, wara’, cerdas, baik dan gemar membantu, sebab bergaul dengan orang yang kurang peduli ilmu pengetahuan biasanya memboroskan harga serta menyia-nyiakan umur.[31]
Mengenai adab Murid dan Guru Menurut
Al-Ghazali, adab murid dan guru itu ada sepuluh bagian:
1. Hendaknya mendahulukan kesucian
jiwa daripada kejelekan akhlak dan keburukan sifat, karena ilmu adalah ibadah
hatinya,shalatnya jiwa, dan peribadatannya batin kepada Allah.
2. Mengurangi keterikatannya dengan
kesibukan dunia, karena ikatan-ikatan itu menyibukkan dan memalingkan
3. Tidak bersikap sombong kepada
orang yang berilmu dan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru, bahkan ia
harus menyerahkan seluruh urusannya kepadanya dan mematuhi nasehatnya seperti
orang sakit yang bodoh mematuhi nasehat dokter yang penuh kasih sayang dan
mahir
4. Orang yang menekuni ilmu pada
tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara manusia,
baik apa yang ditekuninya itu termasuk ilmu dunia ataupun ilmu akhirat
5. Seorang penuntut ilmu tidak boleh
meninggalkan suatu cabang ilmu yang terpuji, atau salah satu jenis ilmu,
kecuali ia harus mepertimbangkan matang-matang dan memperhatikan tujuan dan
maksudnya
6. Tidak menekuni semua bidang ilmu
secara sekaligus tetapi menjaga urutan dan dimulai dengan yang paling penting
7. Hendaklah tidak memasuki satu
cabang ilmu sebelum menguasai ilmu yang sebelumnya
8. Hendaklah mengetahui faktor
penyebab yang dengannya ia bisa mengetahui ilmu yang paling mulia
9. Hendaklah tujuan murid di dunia
adalah untuk menghias dan mempercantik batinnya dengan
keutamaan, dan di akhirat adalah
untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan diri untuk bias berdekatan
dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang
didekatkan.
10. Hendaklah mengetahui kaitan ilmu
dengan tujuan agar supaya mengutamakan yang tinggi lagi dekat daripada yang
jauh, dan yang penting daripada yang lainnya.[32]
Sementara dalam UU Sisdiknas Tahun
2003 pasal 3 ditegaskan pula bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
"...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab". Dari tujuan ini terlihat jelas bahwa mewujudkna
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak
mulia merupakan substansi dari kepribadian yang diinginkan dalam konsep
pendidikan Islam itu sendiri.
Demikian pula peserta didik, juga
diharapkan tidak terjebak pada paham pragmatisme dan materialisme. Ada
kecenderungan ketika peserta didik bersikap demikian, maka guru pun kurang dihormati.
Guru hanya dianggap sebagai instrumen atau alat dalam pendidikan. Sebagaimana
yang dikenal dalam falsafah alat, ia akan digunakan selagi dibutuhkan. Ketika
tidak lagi dibutuhkan, maka guru pun tidak dihormati lagi.
Untuk itu, peserta didik juga harus
memahami apa tugas dan tanggung jawabnya sebagai peserta didik dalam perspektif
pendidikan Islam. Peserta didik yang dalam pandangan pendidikan Islam sering
disebut sebagai murid sebenarnya memiliki arti ”orang yang menginginkan”.
Artinya, seorang murid atau peserta didik harus menunjukkan sikap yang
membutuhkan kehadiran seorang guru. Rasa ”membutuhkan” ini tentu tidak bersifat
sesaat ketika ada perlu saja, tetapi dalam pandangan pendidikan Islam, seorang
guru tidak hanya dihormati di saat belajar pada sekolah formal saja, sehingga
disebut pula bahwa ”tidak ada mantan guru dalam pandangan pendidikan Islam”.
Dengan konsep seperti ini maka seorang peserta didik harus menunjukkan sikap
kesungguhannya dalam belajar dibarengi dengan adab-nya kepada guru dengan
harapan ilmu yang ia peroleh bermanfaat bagi dirinya.
Selain itu, peserta didik juga harus
menuntut ilmu didasari oleh motivasi awal, yaitu motivasi karena Allah SWT.
Dengan motivasi ini, maka selama dalam menuntut ilmu ia harus meninggalkan
hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Hal ini pula yang pernah dialami oleh
Imam Syafi’i. Suatu ketika ia pernah meminta nasehat kepada gurunya, Imam Waki’
sebagai berikut: “Syakautu ilâ Waki’in sûa hifzi, wa arsyadani ilâ tarki
al-maâhi, fa akhbarani bianna al-‘ilma nūrun, wa nur Allahi la yubdalu
al-âshi”. Dari nasehat ini, ada dua hal yang perlu digarisbawahi, pertama,
untuk memperkuat ingatan diperlukan upaya meninggalkan perbuatan-perbuatan
maksiat; dan kedua, ilmu itu adalah cahaya yang tidak akan tampak dan terlahirkan
dari orang yang suka berbuat maksiat. Dengan demikian irsyâd merupakan
aktivitas pendidikan yang berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi)
akhlak dan kepribadian kepada peserta didik, baik yang berupa etos kerjanya,
etos belajarnya, maupun dedikasinya yang serba li Allah Ta’ala.
KESIMPULAN
Peserta didik adalah anak yang
sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikologis (Muhaimin dan
Abdul Mujib,1993:177), untuk mencapai tujuan pendidikan melalui lembaga
pendidikan.
Dalam perspektif falsafah pendidikan
Islam seluruh makhluk ciptaan Allah Swt merupakan peserta didik. Namun secara
khusus dalam pendidikan Islam, peserta didik adalah seluruh al insan, al-basyar
atau bani adam yang sedang menuju al-insan al-kamil, baik dalam pengertian
jismiyah maupun ruhiyah.
Ketiga istilah tersebut yaitu
pertama, term mengandung pengertian bahwa peserta didik dalam arti mutarabbi
manusia yang selalu memerlukan pendidikan, baik dalam arti pengasuhan dan
pemeliharaan fisik – biologis, penambahan pengetahuan dan keterampilan,
tuntunan dan pemeliharaan diri, serta pembimbingan jiwa. Dengan demikian,
mutarabbi mampu melaksanakan fungsi dan tugas penciptaan Allah Swt. Tuhan maha
pencipta, pemelihara dan pendidik bagi alam semesta. Kedua, muta’allim, peserta
didik mempelajari semua al-asma’kullah yang terdapat pada ayat-ayat kauniyah
maupun quraniyah dalam rangka pencapaian pengenalan, peneguhan dan aktualisasi
syahadah primordial yang telah pernah ia ikrarkan di hadapan Allah Swt.
Kemampuan peserta didik merealisasikan terhadap apa yang pernah ia nyatakan ini
merupakan essensi dari peserta didik itu sendiri dalam filsafat pendidikan
Islam.
Peserta didik adalah makhluk yang
berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing,
dimana mereka sangat memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju
kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Berdasarkan pengertian ini, maka anak
didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau
ilmu, bimbingan dan pengarahan.
0 komentar:
Posting Komentar