A.
Pengertian Pendidikan
Untuk
menghindarkan kesalahan didalam mengartikan makna pendidikan, terlebih dahulu
akan diruntut asal kata
yang membentuk kata pendidikan mengingat konsep tersebut berasal dari term
beragam bahasa.
1. Al-tarbiyah, Al-ta’dib dan Al-ta’lim. Ketiga istilah
tersebut berasal dari bahasa Arab. Kata Al-tarbiyah berasal dari kata rabba.
Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya
menunjukkan makna tumbuh, berkembang, merawat, mengatur, dan menjaga
kelestarian atau eksistensinya. Dalam penjelasan lain menurut Abdurrahman An
Nahlawi bahwa kata Al-tarbiyah berasal dari tiga kata yaitu pertama, rabba
yarbu yang berarti tambah, tumbuh dan berkembang. Kedua, rabiya yarbu
berarti menjadi besar. Ketiga rabba yarubbu berarti memperbaiki,
menguasai urusan, membantu dan memelihara.[1][1]
Al-ta’lim berarti proses transmisi berbagai
ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan atau ketentuan
tertentu. Apabila kata ta’lim diambil dari al-Quran Surat al-Baqoroh: 30-31
maka maknanya akan condong kepada pemberian informasi, sehingga peserta didik
posisinya menjadi pasif adanya. Al-ta’dib menurut Al Attas berarti
pengenalan atau pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kedalam diri
manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan
penciptaan. Dengan adanya penjelasan ini menyebabkan pendidikan sebagai
pembimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam
tatanan wujud dan kepribadiannya.[2][2]
2.
Educatio. Kata ini berasal dari bahasa Latin
atau education yang berasal dari bahasa Inggris. Kedua kata tersebut
dalam bahasan pendidikan barat lebih menekankan pada aspek pisik dan material.
3.
Paedagogie artinya pendidikan. Disamping itu
ada istilah yang hampir sama bentuknya, yaitu paedagogik berarti ilmu
pendidikan. Paedagogik berasal dari kata Yunani, paedagogia yang berarti
pergaulan dengan anak-anak. Paedagogis adalah pelayan atau bujang pada zaman
Yunani kuno yang pekerjaannya mengatur dan menjemput anak-anak sekolah.
Paedagogis yang asalnya berarti rendah
(pelayan, bujangan) sekarang dipakai untuk pekerjaan yang mulia ialah
seorang yang tugasnya membimbing anak dalam pertumbuhan agar dapat berdiri
sendiri.
Terlepas dari perbedaan makna beberapa term diatas secara
terminologi, para pakar pendidikan telah mencoba menyusun atau memformulasikan
pengertian pendidikan sebagai berikut:
Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama. Di Indonesia agaknya definisi ini telah
begitu mapan. Memang benar, definisi itu baik, mudah
dipahami, secara relatif mudah dijabarkan menjadi tujuan-tujuan khusus
pendidikan. Akan tetapi, sebenarnya definisi itu masih terlalu sempit, belum
mencakup seluruh kegiatan yang disebut pendidikan. Di sana dikatakan bahwa pendidikan
adalah bimbingan terhadap.., dan seterusnya. Jadi, pendidikan itu terbatas pada
kegiatan pengembangan pribadi anak didik oleh pendidik berupa orang; jadi, ada
orang yang mendidik.[3][3]
Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan sebagai suatu
tindakan (action) yang diambil oleh suatu masyarakat kebudayaan atau
peradaban untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival).[4][4] Hal ini
ditegaskan kembali oleh Lodge, bahwa pendidikan itu menyangkut seluruh
pengalaman. Orang tua mendidik anaknya, anak mendidik orang tuanya, guru
mendidik muridnya, murid mendidik gurunya, bahkan anjing mendidik tuannya.
Semua yang kita sebut atau kita lakukan dapat disebut mendidik kita. Begitu
juga yang disebut dan dilakukan orang lain terhadap ikita, dapat disebut
mendidik kita. Dalam pengertian luas ini kehidupan adalah pendidikan, dan
pendidikan adalah kehidupan.[5][5]
Park mengatakan bahwa pendidikan adalah the art of
imparting or acquiring knowledge and habit through instructional as study.
Pendidikan adalah pengajaran.[6][6] Alfred North
Whitehead mengambil pengertian pendidikan yang sangat sempit. Ia menyatakan
bahwa pendidikan adalah pembinaan keterampilan menggunakan pegetahuan.[7][7]
Dalam pengertian yang luas, pendidikan ialah pengembangan
pribadi dalam semua aspeknya, dengan penjelasan bahwa yang dimaksud
pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri,
pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru). Seluruh
aspek mencakup jasmani, akal, dan hati. Pendidikan berupa pengaruh alam sekitar
sulit sekali dirancang oleh manusia. Pendidikan berupa pengaruh budaya juga
sulit dirancang. Oleh karena itu, teori-teori pendidikan oleh lingkungan kurang
dikembangkan. Pendidikan oleh diri sendiri juga agak sulit diatur, dan
teori-teorinya juga tidak seberapa banyak perkembangannya. Pendidikan oleh
orang terhadap orang itulah yang secara relatif mudah direkayasa. Pendidikan
ini dibagi ke dalam tiga macam, yaitu pendidikan di dalam rumah tangga, di
masyarakat, dan di sekolah.[8][8]
Di antara ketiga tempat pendidikan itu, pendidikan di
sekolah itulah yang paling ‘mudah’ direncanakan, teori-teorinya pun berkembang
dengan pesat sekali. Sekarang, bila orang berbicara tentang teori pendidikan,
hampir dapat dipastikan bahwa yang dimaksudkannya adalah pendidikan di sekolah.
Selanjutnya, dalam hal ini ketiga macam tempat pendidikan itulah yang ingin
diuraikan (rumah tangga, masyarakat, sekolah); teori-teorinya (menurut
pandangan al-Qur’an) terutama sekali teori-teori pendidikan sekolah.
Dari
beberapa pengertian terdahulu tentang pendidikan, jelaslah bahwa pendidikan
adalah bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara
maksimal. Dengan demikian, pendidikan Islam sebenarnya sudah mulai dapat
dirumuskan. Akan tetapi, ini adalah pendidikan dalam arti sempit. Jadi,
pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang (pendidik)
terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal yang
positif. Usaha itu banyak macamnya. Satu di antaranya ialah dengan cara
mengajarnya, yaitu mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Selain itu,
ditempuh juga usaha lain, yakni memberikan contoh (teladan) agar ditiru,
memberikan pujian dan hadiah, mendidik dengan cara membiasakan dan lain-lain
yang tidak terbatas jumlahnya.[9][9]
Jadi pendidikan merupakan setiap usaha secara sadar yang
dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak dalam rangka membantu
mengembangkan jasmani dan rohani sehingga ia dapat memenuhi tugas hidup dan
tanggung jawabnya sebagai manusia. Dengan demikian pendidikan juga bisa disebut
pimpinan, karena setiap aktivitas pendidikan selalu memberikan bantuan kepada
siterdidik didalam mengembangkan, menumbuhkan, membentuk dan mengeluarkan
segala potensi yang dimiliki subyek didik.
B.
Teori – Teori Tentang Pendidikan
Dalam hal ini ada dua pendirian yang bertentangan :
1. Teori Tabularasa (Jhon Locke dan Francis Bacon)
Teori ini menyatakan bahwa anak yang
baru dilahirkan bagaikan kertas putih yang belum ditulisi. (A sheet of white
paper avoid of all characters). Jadi sejak lahir anak tidak mempunyai kemampuan
apa-apa. Disini pendidikan mempunyai kekuatan penuh dalam membentuk anak,
sehingga teori ini disebut empirisme karena aliran ini berpendapat bahwa segala
kecakapan dan pengetahuan manusia itu timbul dari pengalaman yang masuk melalui
alat indra.
2.
Teori Nativisme.
Nativus (latin) berarti kelahiran.
Aliran nativisme berpendapat bahwa tiap-tiap anak sejak dilahirkan sudah
mempunyai berbagai pembawaan yang akan berkembang sendiri menurut arahnya
masing-masing. Pembawaan anak-anak itu ada yang baik dan ada yang buruk.
Pendidikan tidak perlu dan tidak berkuasa apa-apa sehingga aliran ini disebut
pesimisme.
Kedua teori ini oleh W. Stern, ahli ilmu jiwa bangsa Jerman
disempurnakan dengan cara dipadukan sehingga lahir teori kanvergensi. Menurut
teori ini hasil pendidikan anak ditentukan oleh dua faktor yaitu pembawaan dan
lingkungan.
Boleh jadi teori kanvergensi lebih tepat diperuntukkan bagi
binatang, karena perkembangan binatang hanya dibentuk atas pembawaan keturunan
dan hukum-hukum alam.
Tetapi teori korvengensi menjadi hilang ketepatannya apabila
diterapkan bagi manusia, mengingat perkembangan manusia bukan hasil belaka dari
pembawaan dan lingkungan. Manusia adalah makhluk alternatif yang dapat dan
sanggup memilih dan menentukan sesuatu mengenai dirinya dengan bebas.
Kesimpulannya adalah proses kemajuan perkembangan manusia
tidak dapat lepas dari faktor-faktor bawaan yang turun temurun yang oleh
aktivitas dan pemeliharaan atau penentuan manusia sendiri yang dilaksanakan
dengan bebas dibawah pengaruh faktor-faktor lingkungan tertentu, berkembang
menjadi sifat-sifat. Dari penjelasan diatas nyatalah bahwa proses pendidikan
selalu dekat dan tidak dapat melepaskan dari lingkungan dan pembawaan. Dan
terjadinya perbedaan pendirian sebenarnya hanya disebabkan oleh berbedanya arah
pandang dalam menatap pendidikan.
Satu sisi memandang pendidikan dengan kacamata individu
sehingga tugasnya pengembangan potensi-potensi laten yang terpendam dan
tersembunyi, sedangkan pada sisi lain memandang pendidikan dari segi pandangan
masyarakat sehingga tugas pendidikan adalah, pewarisan nilai-nilai budaya yang
ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tetap
terpelihara. Namun walaupun terjadi titik-titik keanekaragaman pandangan
tentang pendidikan, tetapi tetap ditemukan titik temunya yaitu apabila
pendidikan dilihat sebagai proses. Dengan proses itu pendidikan secara sengaja
menimbulkan dan mengembangkan potensi bawaan terdidik dan melalui proses pula
pendidikan mewariskan nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat kepada si
terdidik sesuai lingkungannya.
C.
Pengertian Pendidikan dalam
Perspektif al-Qur’an
Pendidikan dalam al-Qur’an
menunjukkan warna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang berwarna Islam,
pendidikan yang Islami, yaitu pendidikan yang berdasarkan Islam. Dibagian awal
telah dikemukakan mengenai pendapat-pendapat tentang pengertian pendidikan,
dari pendapat-pendapat tersebut barulah dibahas apa pendidikan itu menurut
Islam.
Konferensi internasional tentang
pendidikan Islam yang pertama (1977) ternyata tidak juga berhasil menyusun
definisi pendidikan yang dapat disepakati mereka. Sulitnya merumuskan definisi
pendidikan disebabkan antara lain oleh: [10][10]
1. Banyaknya jenis
kegiatan yang dapat disebut sebagai kegiatan pendidikan;
2. Luasnya aspek
yang dibina oleh pendidikan.
Sebelum ini
sudah dijelaskan bahwa Konferensi Internaslonal Pendidikan Islam Pertama (First
World Conference on Muslim Education) yang diselenggarakan oleh Universitas
King Abdul Aziz, Jeddah, pada tahun 1977, belum berhasil membuat rumusan yang
jelas tentang definisi pendidikan menurut Islam. Dalam bagian
"Rekomendasi" Konferensi tersebut, para peserta hanya membuat kesimpulan
bahwa pengertian pendidikan menurut Islam ialah keseluruhan pengertian yang
terkandung di dalam istilah tâ'lim, tarbîyyah, dan tâ'dîb.
Untuk lebioh
jelasnya marilah kita tengok kembali beberapa pendapat tokoh Islam mengenai
pendidikan Islam:
1. Sayid Muhammad al-Naquib al-Attas
Beliau mencoba
menjelaskan ketiga istilah dalam bahasa Arab itu. Menurut Naquib al-Attas dalam
bukunya, istilah ta'dib adalah istilah yang paling tepat
digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan, sementara istilah tarbîyyah
terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mencakupi juga pendidikan
untuk hewan.[11][11] Selanjutnya ia
menjelaskan bahwa istilah tâ'dib merupakan masdar kata kerja addâbâ
yang berarti pendidikan.[12][12]
Dari kata addâbâ
ini diturunkan juga kata âdâbun. Menurut al-Attas, adabun berarti
pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat
teratur secara hierarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan
mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat
itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah
seseorang. Berdasarkan pengertian adab seperti itu, Al-Attas
mendefinisikan pendidikan (menurut Islam) sebagai pengenalan dan pengakuan yang
secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang
tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing ke
arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud
tersebut. [13][13]
2. Abdurrahman al-Nahlawi
Beliau
merumuskan definisi pendidikan justru dari kata al-tarbiyah. Dari segi
bahasa, menurut pendapatnya, kata al-tarbiyah berasal dari tiga kata,
yaitu: pertama, kata raba-yarbu yang berarti bertambah,
bertumbuh, seperti yang terdapat di dalam al-Quran surat al-Rum ayat 39; kedua,
rabiya-yarba yang berarti menjadi besar; ketiga, dari kata rabba-yarubbu
yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara. Menurut
Imam Al-Baidlawi di dalam tafsirnya (lihat Al-Nahlawi, 1989: 31) arti asal al-rabb
adalah al-tarbiyah, yaitu menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit
sehingga sempurna. Ashfahani (lihat Al-Nahlawi:32) sependapat dengan Baidlawi.[14][14]
Berdasarkan
ketiga kata itu, Abdurrahman al-Bani (lihat Al-Nahlawi: 32) menyimpulkan bahwa
pendidikan (tarbiyah) terdiri atas empat unsur, yaitu: pertama, menjaga dan
memelihara fitrah anak menjelang dewasa (baligh); kedua, mengembangkan
seluruh potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju
kesempurnaan (rupanya ia membedakan antara fitrah dan potensi); dan keempat,
dilaksanakan secara bertahap. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan
adalah pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menurut ajaran
Islam.
3. Baidlawi dan Al-Bani
Beliau
berpendapat bahwa, agaknya benar apa yang tadi dikatakan al-Attas, bahwa al-tarbiyah
terlalu luas cakupannya. Baidlawi dan Al-Bani di sini kelihatannya dengan sengaja menyempitkan pengertian ketiga istilah
itu (raba-rabiya-rabba). Hal ini perlu ditekankan karena istilah yang
digunakan sekarang untuk pendidikan adalah al-tarbiyah, bukan al-ta'dib
seperti yang diusulkan oleh al-Attas secara tersirat. Kita mengenal istilah
fakultas tarbiyah.
4.
Abdul Fattah Jalal
Menurut Abdul
Fattah Jalal (1988: 27), proses ta'lîm justru lebih
universal dibandingkan dengan proses al-tarbiyah. Untuk menjelaskan
pendapatnya ini, Jalal memulai uraiannya dengan menjelaskan kedudukan ilmu
(pengetahuan) dalam Islam. Ia mengutip ayat al-Quran surat al-Baqarah ayat
30-34 yang artinya sebagai berkut:
“Ingatlah
tatkala Rabb-mu berfirman kepada
para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi. Mereka berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu? Allah menjawab,
sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. Dan la mengajarkan
kepada Adam nama benda-benda seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
malaikat, lalu berfirman, sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kalian merasa yang benar. Mereka menjawab, mahasuci Engkau, tidak ada yang kami
ketahui selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui serta Maha bijaksana. Allah berfirman, hai Adam,
beritahulah kepada mereka nama benda-benda ini. Setelah diberitahukan kepada
mereka nama benda-benda itu, Allah berfirman, bukankah sudah Kukatakan kepada
kalian bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang
kalian perlihatkan dan kalian sembunyikan? Dan ingatlah ketika Kami berfirman
kepada para malaikat, bersujudlah kalian kepada Adam, maka sujudlah mereka
kecuali iblis. Iblis itu enggan (sujud) dan takabur, karena itu ia termasuk
golongan kafir”.[15][15]
Menurut Jalal,
dalam ayat-ayat itu terkandung pengertian bahwa kata ta’lim jangkauannya
lebih jauh serta lebih luas daripada kata tarbiyah. Kemudian Jalal
mengutip ayat 151 surat al-Baqarah, yang artinya adalah:
“Kami telah mengutus kepada kalian
rasul dari kalian yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian dan menyucikan
kalian dan mengajarkan kepada kalian al-Kitab dan al-Hikmah serta mengajarkan
kepada kalian apa-apa yang belum kalian ketahui".[16][16]
Berdasarkan
ayat ini, menurut Jalal, kita dapat mengetahui bahwa proses ta'lim lebih
universal dibandingkan dengan proses tarbiyah. Sebab, ketika mengajarkan
bacaan al-Quran kepada kaum Muslimin, Rasul saw. tidak terbatas pada membuat
mereka sekadar dapat membaca, tetapi membaca dengan perenungan yang berisi
pemahaman, tanggung jawab, dan amanah. Dari membaca semacam ini Rasul membawa
mereka kepada tazkiyah (penyucian) diri dan menjadikan diri itu berada
dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-Hikmah serta
mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui. Al-Hikmah, menurut
Jalal, tidak dapat dipelajari secara parsial, tetapi
harus secara menyeluruh terintegrasi. Kata al-hikmah berasal dari al-ihkâm,
yang berarti kesungguhan di dalam ilmu, amal, atau di dalam kedua-duanya. Oleh
karena itu, Allah menyatakan bahwa hamba-hambanya yang diberi al-hikmah
adalah hamba yang baik.[17][17]
Allah
memberikan al-hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan barang
siapa yang diberi al-hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak
(al-Baqarah:269). Adapun kata al-tarbiyah, menurut Jalal, hanya
kita dapatkan dalam al-Quran di dua tempat, yaitu pada surat al-Isra' ayat 24:
“....dan ucapkahlah, ya Rabb, kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua mendidik aku waktu kecil”. Yang satu lagi ada
di dalam ayat 18 surat al-Syu'ara: “Fir'aun menjawab, bukankah kami telah
mendidikmu di dalam (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu
tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu”.[18][18]
Menurut Jalal,
kedua ayat di atas menjelaskan bahwa al-tarbiyah ialah proses pengasuhan
pada fase permulaan pertumbuhan manusia; sekarang fase itu kita sebut periode
kanak-kanak. Ayat 24 surat al-Isra’ menunjukkan bahwa pendidikan pada fase ini
menjadi tanggung jawab keluarga, yaitu ibu dan ayah tatkala anak masih berada
dalam periode kebergantungan. Dalam ayat 18 al-Syu'ara di atas dijelaskan
kebaikan Fir'aun kepada Nabi Musa a.s. bahwa ia telah mendidiknya pada masa
kecil Musa dan tidak memasukkannya ke dalam golongan anak-anak yang dibunuh
ketika itu. Musa telah dianggap anggota keluarga selama beberapa tahun.
Jelaslah kedua ayat ini menegaskan bahwa pengertian tarbiyah lebih
sempit daripada ta’lim yang mempunyai pengertian yang lebih dalam dan
lebih luas.
Selanjutnya
Jalal menjelaskan bahwa ta’lim tidak berhenti pada pengetahuan yang
lahiriah, juga tidak hanya sampai pada pengetahuan taklid. Ta’lim
mencakup pula pengetahuan teoretis, mengulang kaji secara lisan, dan menyuruh
melaksanakan pengetahuan itu. Ta’lim mencakup pula aspek-aspek
pengetahuan lainnya serta keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan serta
pedoman berperilaku. Pengertian itu diambil Jalal dari ayat 5 surat Yunus. Ayat
ini menjelaskan aspek-aspek pengetahuan seperti ilmu falak, teknik, dan logika
(pembuktian adanya Allah).[19][19]
Jadi,
berdasarkan analisis itu Abdul Fattah Jalal menyimpulkan bahwa menurut
al-Quran, ta’lim lebih luas serta lebih dalam daripada tarbiyah. Berbeda
dari Al-Attas, Jalal tidak membandingkannya dengan ta’dib. Mungkin
karena bersilangnya pendapat inilah maka konferensi pendidikan di Jeddah tahun
1977 itu hanya menyimpulkan secara umum bahwa pendidikan menurut Islam
terkandung di dalam tiga istilah: ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib.
Istilah tarbiyah yang umum digunakan sekarang (fakultas tarbiyah,
misalnya; juga nama buku-buku pendidikan memakai kata itu) menurut hemat
penulis dapat saja terus digunakan, tetapi ia harus mencakup pengertian yang
dikandung oleh ketiga istilah di atas (ta'lim, tarbiyah, ta'dib).
Jadi dalam
penulisan ini, pendidikan dalam perpektif al-Qur’an pada ialah bimbingan yang
diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal
sesuai dengan ajaran Islam. Bila disingkat, bimbingan terhadap seseorang agar
ia menjadi Muslim semaksimal mungkin.
D.
Tujuan Pendidikan dalam Perspektif
al-Qur’an
Dasar kehidupan adalah pandangan hidup. T.S. Eliot
menyatakan bahwa pendidikan yang amat penting itu tujuannya harus diambil dari
pandangan hidup. Jika pandangan hidup (philosophy of life) anda adalah
Islam maka tujuan pendidikan menurut anda haruslah diambil dari ajaran Islam.[20][20]
Al-Attas menghendaki tujuan pendidikan Islam
adalah manusia yang baik. Ini terlalu umum.[21][21] Marimba berpendapat bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah terbentuknya orang yang berkepribadian Muslim.
Ini pun amat umum; ia memang menyebutnya sebagai tujuan akhir.[22][22]
Al-Abrasyi menghendaki tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang
berakhlak mulia. Ini juga amat umum.[23][23] Munir Mursyi menyatakan bahwa
tujuan akhir pendidikan menurut Islam adalah manusia sempurna. Ini pun
terlalu umum, sulit dioperasikan; maksudnya, sulit dioperasikan dalam tidndakan
perencanaan dan pelaksanaan pendidikan secara nyata.23
Menurut Abdul Fattah Jalal, tujuan umum
pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. la
mengatakan bahwa tujuan ini akan mewujudkan tujuan-tujuan khusus. Dengan
mengutip surat al-Takwir ayat 27, Jalal menyatakan bahwa tujuan itu adalah
untuk semua manusia. Jadi, menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan
seluruh manusia (sekali lagi: seluruh manusia) menjadi manusia yang
menghambakan diri kepada Allah. Yang dimaksud dengan menghambakan diri ialah
beribadah kepada Allah.
Islam rnenghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan
hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada
Allah. [24][24]
Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah
itu terbatas pada menunaikan salat, saum pada bulan Ramadan, mengeluarkan
zakat, ibadah haji, dan mengucapkan syahadat. Di luar itu bukan ibadah.
Sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang
dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Ibadah adalah jalan hidup yang
mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa
perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah. Dalam
kerangka inilah maka tujuan pendidikan haruslah mempersiapkan manusia agar
beribadah seperti itu, agar ia menjadi hamba Allah (‘ibad al-rahman). Dengan
melihat tujuan umum seperti ini dapatlah dibuat rumusan tujuan pendidikan yang
lebih khusus, yaitu dengan mempelajari lebih dahulu apa saja aspek ibadah
tersebut.[25][25]
Muhammad Quthb, tatkala membicarakan tujuan
pendidikan, menyatakan bahwa tujuan pendidikan lebih penting daripada sarana
pendi-dikan. Sarana pendidikan pasti berubah dari masa ke masa, dari generasi
ke generasi, bahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Akan tetapi, tujuan
pendidikan tidak berubah. Yang dimaksud ialah tujuan pendidikan yang umum itu.
Tujuan pendidikan yang khusus dapat berubah sesuai dengan kondisi tertentu.
Namun, bagian yang mendasar dalam tujuan pendidikan yang khusus tidak pernah
berubah. Selanjutnya ia juga menyatakan, bahwa tujuan umum pendidikan adalah manusia
yang takwa.[26][26]
Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan
Islam (1977) berkesimpulan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia
yang menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah.[27][27]
Membicarakan tujuan pendidikan umum memang
penting. Tujuan umum itu tetap, menjadi arah pendidikan Islam. Untuk keperluan
pelaksanaan pendidikan, tujuan itu harus dirinci menjadi tujuan yang khusus,
bahkan sampai ke tujuan yang operasional. Usaha merinci tujuan umum itu sudah
pernah dilakukan oleh para ahli pendidikan Islam. Al-Syaibani, misalnya,
menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi:
1.
Tujuan yang berkaitan
dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku,
jasmani dan rohani, dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di
dunia dan di akhirat.
2.
Tujuan yang berkaitan
dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu
dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat/ memperkaya pengalaman
masyarakat.
3.
Tujuan profesional yang
berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni,
sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
4.
Al-Abrasyi merinci
tujuan akhir pendidikan Islam menjadi:
5.
Pembinaan akhlak;
6.
Menyiapkan anak didik
untuk hidup di dunia dan di akhirat;
7. Penguasaan ilmu;
8. Keterampilan bekerja
dalam masyarakat.[28][28]
Bagi Asma Hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan Islam dapat
dirinci sebagai berikut:
1.
Tujuan keagamaan;
2.
Tujuan pengembangan
akal, akhlak;
3.
Tujuan pengajaran
kebudayaan;
4.
Tujuan pembinaan
kepribadian.[29][29]
Munir Mursi
sendiri menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi sebagai berikut:
1.
Bahagia di dunia dan di
akhirat;
2.
Menghambakan diri kepada
Allah;
3.
Memperkuat ikatan
keislaman dan melayani kepentingan masyarakat Islam;
Al-'Aynayni (1980:153-217) membagi tujuan
pendidikan Islam menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum ialah
beribadah kepada Allah, maksudnya membentuk manusia yang beribadah kepada
Allah. Selanjutnya ia mengatakan bahwa tujuan umum ini sifatnya tetap, berlaku
di segala tempat/waktu, dan keadaan. Tujuan khusus pendidikan Islam ditetapkan
berdasarkan keadaan tempat dengan mempertimbangkan keadaan geografi, ekonomi,
dan lain-lain yang ada di tempat itu.[31][31]
Tujuan khusus ini dapat dirumuskan berdasarkan ijtihad
para ahli di tempat itu. Selanjutnya ia membagi aspek-aspek pembinaan dalam
pendidikan Islam, jadi bukan pembagian tujuan pendidikan menjadi tujuan-tujuan
khusus. Aspek-aspek pembinaan dalam pendidikan Islam menurutnya ialah sebagai
berikut: aspek jasmani, aspek akal, aspek akidah, aspek akhlak, aspek kejiwaan,
aspek keindahan, aspek kebudayaan.
E.
Nilai-nilai Pendidikan dalam
Perspektif al-Qur’an
Nilai merupakan
esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia.
Esensi belum berarti sebelum dibutuhkan oleh manusia, tetapi tidak
berarti adanya esensi karena adanya manusia yang membutuhkan. Hanya saja
kebermaknaan esensi tersebut semakin meningkat daya tangkap dan pemaknaan
manusia itu sendiri. Hal senada sesuai dengan pendapat Syam, bahwa nilai itu
praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara
obyektif di dalam masyarakat. Nilai ini merupakan suatu realita yang sah
sebagai suatu cita-cita yang benar dan berlawanan dengan cita-cita palsu atau
bersifat khayali. [32][32]
Salah satu keistimewaan manusia yang tidak dimiliki oleh
makhluk lain adalah kemampuannya dalam melawan instinknya. Selain itu manusia
memiliki kemauan bebas (free will). Oleh Allah manusia diciptakan dengan
bentuk paling sempurna.31 Ia tidak hanya berujud fisik maupun psikisnya
saja akan tetapi dilengkapi dengan unsur ruh yang berasal dari diriNya.[33][33]
Tiupan ruhNya ini menjadikan manusia mampu memanifestasikan
sifat-sifatNya di bumi. Adanya ruh ini menyebabkan manusia dapat tampil beda
dan keberadaannya menjadi sangat mungkin paling berkualitas dibanding makhluk
lain termasuk dengan malaikat. Keunggulan ini menyebabkan manusia mampu memikul
beban dan tanggung jawab (taklif) serta mendapatkan predikat khalifatullah fil ardhi. Maksudnya adalah manusia mampu menjadi mandataris
untuk menerjemahkan, menjabarkan dan mewujudkan fungsi Allah sebagai rabbul-a’lamin dan rabbunnas di dunia ini.[34][34]
Kaitannya sebagai khalifah di bumi manusia dituntut dapat
mengemban amanat secara baik dan penuh tanggung jawab serta menempatkan dirinya
secara konsekuen dan proporsional dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama
manusia dan lingkungan alam.
Sejalan dengan fungsinya itu maka kepada manusia
dianugerahkan oleh penciptaNya berbagai potensi yang dapat dikembangkan melalui
bimbingan dan tuntunan yang terarah dan berkesinambungan. Hal ini
mengindikasikan bahwa manusia adalah mahluk yang berpotensi untuk dididik,
dapat dikembangkan potensinya sekaligus mampu mengembangkan dirinya. [35][35]
Berkaitan potensi yang dimiliki manusia, berdasarkan pada
penjelasan al-Qur’an bahwa didalam diri manusia terdapat potensi yang baik dan
yang jelek. Potensi tersebut antara lain untuk potensi untuk bertumbuh dan
berkembang secara fisik (QS. 23: 12-14) dan juga potensi untuk tumbuh dan
berkembang secara mental spiritual, meliputi kemampuan untuk berbicara (QS.55:
4), menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu dengan mengajarkan
manusia dengan kalam (baca tulis) dan segala apa yang tidak diketahuinya (QS.
96: 4-5), kemampuan untuk mengenal Tuhan atas dasar perjanjian awal didalam ruh
dalam bentuk kesaksian (QS. 7: 172).
Selain potensi yang baik atau positif manusia juga dibekali
potensi lain yang berpeluang untuk mendorong manusia kearah tindakan, sikap,
serta perilaku negatif dan merugikan. Potensi tersebut antara lain ditampilkan
dalam bentuk kecenderungan manusia untuk berlaku dholim dan mengingkari nikmat
(QS.14: 34), tidak berterima kasih dan mudah putus asa (QS.11: 9) sombong apabila telah berkecukupan
(QS. 3: 181) cenderung lalai terhadap tugas dan tanggung jawabnya (QS.21: 12).[36][36]
Kecenderungan potensi negatif ini pada saatnya pasti akan
membawa kerugian dan menghambat tugas kekhalifahannya. Karenanya sebagai mahluk
alternatif manusia diharuskan selalu berupaya mengatasi segala hambatan dan
meminimalisasi sekecil mungkin potensi-potensi negatif yang ada pada dirinya
serta tidak larut dalam bawaan dorongan negatif yang pasti akan
menghancurkannya.
Sejalan dengan potensi yang dimiliki manusia maka proses dan
peran pendidikan menjadi amat krusial, terutama apabila dititik beratkan pada upaya
untuk mengembangkan potensi positifnya. Potensi positif yang dimiliki manusia
itu melalui proses pendidikan diharapkan dapat menciptakan motivasi dan daya
kreasi yang dapat menghasilkan sejumlah aktivitas berupa pemikiran (ilmu pengetahuan), merekayasa temuan-temuan
baru dalam berbagai bidang. Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya
sebagai mahluk yang berbudaya dan berperadaban.
Untuk mencapai maksud tersebut proses pendidikan harus selalu diarahkan pada
usaha pengembangan potensi individu, sehingga manusia tersebut sampai dapat
memahami dan mengetahui jati diri dan tanggung jawabnya sebagai mahluk hidup.
Bagian terpenting dalam diri manusia adalah akal. Karena
dengan akal inilah menjadikan manusia berbeda dengan mahluk yang lain. Kreatifitas
manusia tidak akan pernah lahir apabila tidak memiliki akal. Adanya akal menyebabkan manusia mengalami
perubahan dan kemajuan didalam hidupnya. Mahluk selain manusia cara hidupnya
selalu tetap, statis, dan tidak mengalami perubahan atau kemajuan. Sekedar
contoh, cara hidupnya burung dimana seribu tahun yang lalu hingga burung saat
ini selalu mencari makan dipagi hari dan pulang setelah senja tiba, mereka
tidak pernah berfikir membuat lumbung atau bercocok tanam dengan model
pertanian modern. Hal ini disebabkan mereka tidak dilengkapi dengan akal. Oleh
karenanya ketajaman akal harus selalu diasah melalui pendidikan. Mengenai akal
M.Quraish Shihab telah menjelaskan sebagai berikut:
1.
Daya untuk memahami dan
menggambarkan sesuatu. (QS.29: 43)
2.
Dorongan moral. (QS.6: 51)
3.
Daya untuk mengambil pelajaran dan
kesimpulan serta hikmah. (QS.67: 10)
Daya menggabungkan kedua diatas, sehingga ia mengandung daya
memahami, daya menganalisis, dan menyimpulkan serta dorongan moral yang
disertai dengan kematangan berfikir.[37][37]
Dengan demikian pendidikan tidak boleh lepas dari pencerahan
akal secara komprehensif. Artinya pendidikan tidak cukup hanya dimaksudkan
untuk pencerahan otak semata akan tetapi harus diarahkan pada penegakan
keadilan, demokratisasi dan berpihak pada kepentingan publik bahkan
meningkatkan pertumbuhan nilai-nilai spiritualitas dan religiusitas.
F.
Kesimpulan
Pendidikan
merupakan bimbingan secara sadar oleh seseorang (pendidik) kepada seseorang
(anak didik) agar ia berkembang secara maksimal baik jasmani maupun rohani
sehingga ia dapat memenuhi tugas hidup dan tanggung jawabnya sebagai manusia.
Usaha itu banyak macamnya. Satu di antaranya ialah dengan cara mengajarnya,
yaitu mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya, memberikan contoh
(teladan) agar ditiru, memberikan pujian dan hadiah, mendidik dengan cara
membiasakan dan lain-lain yang tidak terbatas jumlahnya.
Bertitik tolak
dari beberapa teori tentang pendidikan, dapat ditemukan titik temunya yaitu
apabila pendidikan dilihat sebagai proses. Dengan proses itu pendidikan secara
sengaja menimbulkan dan mengembangkan potensi bawaan terdidik dan melalui
proses pula pendidikan mewariskan nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat
kepada si terdidik sesuai lingkungannya.
Pendidikan
dalam perpektif al-Qur’an atau pendidikan Islam merupakan bimbingan yang
diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal
sesuai dengan ajaran Islam. Bila disingkat, bimbingan terhadap seseorang agar
ia menjadi Muslim semaksimal mungkin. Adapun tujuan
pendidikan Islam adalah terbentuknya orang yang berkepribadian Muslim.
G.
Daftar Pustaka
1. A.Malik Fajar,Fajar, Reorientasi
Pendidikan Islam, (Surabaya: PT. Dunia,1999),
2. Abdul Fattah Jalal, Asas-Asas Pendidikan Islam, dalam Herry
Noer Ally (Terj), (Bandung: Diponegoro, 1988),
3. Ahmad D. Marimba, Pengantar
filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1989),
4. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan
dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992),
5. Al-Attas, Syed Muhammad al- Naquib, Aims
and Objectives of Islamic Education, (Jeddah: King Abdul Aziz University,
1979),
6. Ali Ashraf, Horison Baru
Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Al-Firdaus, 1989),
7. Ali Khalil ‘Aynayni, Filsafat at-Trabiyyah al-Islamiyyah fi
al-Qur’an al-Karym, (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi),
8.
Departemen Agama RI, A-Qur’an dan
Terjemahnya surat ash-Shaffaat, (Yayasan penyelenggaraan penterjemah
Al-Qur’an 1984-1985),
9. Du Bios, Nelson F. (et al), Educational
Psychology and Instuctional Decisiona, (Homewood, Illions: The Dorsey
Press, 1979),
10. Hasan
Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Husna, 1987),
11. Joe
Park, Selected Reading in the Philosophy of Education, (New York: The
Macmillan Company, 1960),
12. M.Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Jakarta: Mizan, 1996),
13. Mimbar
Pendidikan, Nomor
1 IKIP Bandung (sekarang UPI Bandung), 1974.
14. Muhammad
Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Terj) Bustani A
Gani, Djohar Bary, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974),
15. Muhammad
Munir Mursi, at-Tarbiyyah al-Islamiyyah
Usuluha wa Tatuwwuruha fi Bilad al-Arabiyyat, (Qhariah: Alam al-Qutub, 1977),
16. Muhammad
Munir Mursi, at-Tarbiyyah al-Islamiyyah
Usuluha wa Tatuwwuruha fi Bilad al-Arabiyyat,
17. Muhammad
Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Panctisila,
(Surabaya : Usaha Nasional, 1986),
18. Muhammad
Quthb, Sistem Pendidikan Islam, (terj) Slaman Harun, (Bandung: PT.
Al-Ma’arif, 1988),
19. Rupert
C. Lodge, Philosophy Of Education, (New York: Harer and Brothers, 1974),
20. Syekh
Muhammad al-Naquib, Aims of Objectives of Islamic Education, (Jeddah;
King Abdul Aziz University, 1979),
Ahmad D. Marimba, Pengantar filsafat
Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1989), hal. 31.
Al-Attas, Syed Muhammad al- Naquib, Aims and
Objectives of Islamic Education, (Jeddah: King Abdul Aziz University,
1979), hal. 30
Ahmad D. Marimba, Pengantar filsafat
Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1989), hal. 19.
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta:
Al-Husna, 1987), hal. 89
Rupert C. Lodge, Philosophy Of Education, (New
York: Harer and Brothers, 1974), hal. 23.
Joe Park, Selected Reading in the Philosophy
of Education, (New York: The Macmillan Company, 1960), hal. 3.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992), hal. 25.
Mimbar Pendidikan, Nomor 1 IKIP Bandung
(sekarang UPI Bandung), 1974.
Al-Attas, Syed Muhammad al- Naquib, Aims and
Objectives of Islamic Education, hal. 157.
Ahmad D. Marimba, Pengantar filsafat
Pendidikan Islam, hal. 31-33.
Abdul Fattah Jalal, Asas-Asas Pendidikan Islam, dalam Herry
Noer Ally (Terj), (Bandung: Diponegoro, 1988), hal. 27
Du Bios, Nelson F. (et al), Educational
Psychology and Instuctional Decisiona, (Homewood, Illions: The Dorsey
Press, 1979), hal. 14
Syekh Muhammad al-Naquib, Aims of Objectives
of Islamic Education, (Jeddah; King Abdul Aziz University, 1979), hal. 1.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1964), hal. 39.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok
Pendidikan Islam, (Terj) Bustani A Gani, Djohar Bary, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1974), hal. 15.
Muhammad Munir Mursi, at-Tarbiyyah al-Islamiyyah Usuluha wa
Tatuwwuruha fi Bilad al-Arabiyyat, (Qhariah: Alam al-Qutub, 1977), hal.18.
Abdul Fattah Jalal, Asas-Asas Pendidikan Islam, dalam Herry
Noer Ally (Terj), hal. 119
Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, (terj)
Slaman Harun, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1988), hal. 17.
Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, (Jakarta:
PT. Al-Firdaus, 1989), hal. 2.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok
Pendidikan Islam, (Terj) Bustani A Gani, Djohar Bary, hal. 15-18.
Muhammad Munir Mursi, at-Tarbiyyah al-Islamiyyah Usuluha wa
Tatuwwuruha fi Bilad al-Arabiyyat,hal. 17.
Ali Khalil ‘Aynayni, Filsafat at-Trabiyyah al-Islamiyyah fi
al-Qur’an al-Karym, (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi), hal. 153217.
Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan
Dasar Filsafat Pendidikan Panctisila, (Surabaya : Usaha Nasional, 1986),
hal. 133.
A.Malik Fajar,Fajar, Reorientasi Pendidikan
Islam, (Surabaya: PT. Dunia,1999), hal.,33
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, hal.18
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I
Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta: Mizan, 1996), hal., 294-295